Perjalanan dilanjutkan ke Desa Adisana. Dengan sebelumnya berhenti di titik nol rabat, yang bertempat di ujung timur. Kami mulai mengecek dari titik akhir tadi. Di titik nol ini pengukuran dilakukan juga. Termasuk pengambilan gambar prasasti dan papan proyek. Pembangunan rabat beton di Desa Bangsa ini memang belum selesai. Masih banyak pekerjaan finishing nantinya. Termasuk perbaikan-perbaikan di beberapa titik yang aku sampaikan tadi.
[caption id="attachment_342769" align="aligncenter" width="300" caption="Melihat kualitas rabat (Bangsa)"]
Jalan masuk ke Adisana juga melalui jalan yang belak belok lagi. Ada rabat beton hasil kegiatan PNPM tahun 2011 yang sudah mengelupas banyak di lapisan atasnya. Kurang perawatan. Terkadang masyarakat menilai bahwa kegiatan-kegiatan ini bernilai proyek. Mereka tak mudah menerima sosialisasi bahwa ini bukan proyek. Jika masyarakat memaknai ini sebuah proyek, maka sudah bisa ditebak hasilnya. Masyarakat enggan terlibat dan merasa tidak memiliki. Mereka berpikir bahwa pengurusnya pasti mendapatkan keuntungan yang besar. Tak ada keharusan bagi masyarakat membantu pengurus, dalam hal ini TPK. Walah, jan. Payah pisan.
Ternyata Pak Salim dan Pak Mistar sudah menunggu kami di depan gerbang balai desa. Kami berbalik lagi menuju lokasi. Kegiatannya sama dengan Desa Bangsa, yakni rabat beton. Volume rabat 821 x 2,5 meter. Tak jauh berbeda dengan volume di Bangsa. Hasil pekerjaan di sini terlihat lebih rapi. Sirtu sudah disebar dan tertata rapi diantara kedua rabat. Kondisi rabat pun masih terlihat bagus. Setelah ukur sana ukur sini, sambil sesekali narsis, kami beristirahat sejenak di mushola dekat titik akhir rabat.
[caption id="attachment_342770" align="aligncenter" width="300" caption="Mengukur lebar rabat (Adisana)"]
Obrolan tak lagi bermaterikan seputar kegiatan hari ini. Lebih fokus pada harga sapi yang sudah mulai membumbung menjelang lebaran haji. Pak Mistar mengatakan bahwa harga sapi yang layak untuk dijual guna kurban diatas 20 jutaan. Jika harga di bawah itu jelas tak pantas untuk dijadikan kurban. Dia mengatakan bahwa dia pun memelihara sapi dengan cara penggemukan. Jika dihitung dari pembelian sapi kecil hingga siap dijadikan kurban dia butuh waktu kurang lebih 8 bulan. Dengan asumsi harga jual sapi nantinya 20 juta, dia akan untung 6 juta. Dia bilang bahwa ini hanya sekedar sambilan saja. Asumsi perhitungan kasar seperti itu, jika benar-benar hanya mengandalkan dari sapi, maka akan rugi. Tak sepadan antara kerja keras mencari pakan dengan keuntungan yang didapat.
Pengalamannya, saat damen (batang padi) atau rumput susah dicari dia akan lari ke Purwokerto. Tempat yang dituju adalah kompleks perumahan. Menurutnya justru disana lah banyak rerumputan. Tapi sekarang, damen masih mudah dicari. Sepanjang sawah dari Cindaga sampai Adisana masih banyak. Jika kurang dia bisa lari ke arah selatan yakni ke Kroya atau ke arah timur, daerah Kemranjen.
[caption id="attachment_342771" align="aligncenter" width="300" caption="Mengukur lebar jeda rabat (Adisana)"]
Andai saja dia tak berkata akan mencari damen setelah acara ini, mungkin kami akan mampir ke rumahnya. Rumahnya dekat dengan lokasi kegiatan. Entah basa basi atau tidak, Pak Mistar sudah menawari kami kelapa muda (degan). Aku bilang terserah rombongan dari Patikraja. Nyatanya mereka lebih memilih untuk pulang.
Mungkin mereka belum terbiasa dengan medan di Kec. Kebasen. Beberapa kali mereka mengatakan kalau wilayah kecamatan Kebasen ternyata luas, dan banyak jalan yang rusak. Itu belum seberapa, aku tunjukkan stasiun relay televisi nasional diatas pegunungan. Di sana biasa kami naik. Aku sampaikan juga beruntung lokasi kegiatan fisik berada di bawah, lha kalau harus naik ke sana?
Kami pulang menyusuri jalan yang sama saat kami berangkat. Sesampainya di kantor, tim yang memeriksa lokasi fisik Desa Cindaga sudah pulang. Tentu saja, kan dekat.