"Cari siapa?" tanya seekor panda jantan yang baru selesai makan bambu siang itu, kepada seekor kucing yang melintas di hadapannya. Kucing itu berbulu hitam dan putih, seperti linglung mencari bayangannya sendiri. Ia menghampiri kucing.
Agak lama mereka terdiam dan saling menatap seperti saling mengawasi. Sampai akhirnya panda itu mendekat, tetapi jalannya pincang goyah, tak wajar.
"Kenapa kakimu?"
"Tertabrak mobil truk besar. Untung ada seseorang yang lewat di tempat aku tertabrak, dan dia membawaku ke dokter hewan. Aku dirawat oleh dokter itu, tetapi sayangnya kakiku harus dipotong. Kenapa kau di sini?"
"Aku tadi lagi main petak umpet dengan orang yang memeliharaku. Aku lagi mencarinya."
"Oh aku kira kau tersesat."
"Maaf kalau aku mengganggumu."
"Majikanmu orang baik, senang mengajakmu bermain?"
"Iya, dia memelihara aku sejak aku bayi. Aku selalu diberi susu dan makanan kucing yang baik dan sehat. Dia sangat sayang kepadaku. Saatmya tidur aku selalu dielus dan tidur di pangkuannya, sebelum dia memindahkan aku ke tempat tidurku."
"Kau beruntung. Kalau aku di daerah sini dikenal orang-orang dan hewan-hewan sebagai Momo Pincang. Sebenarnya aku sanggup melakukan aktivitas yang kuinginkan dengan baik. Tetapi mereka sepertinya memandang rendah makhluk ciptaan Tuhan yang cacat. Misalnya penjaga keamanan begitu melihat hewan atau orang yang anggota tubuhnya tidak utuh sering mengira orang atau hewan itu akan mengiba-iba, mengemis. Tetapi ada juga hewan-hewan dan orang-orang yang baik hati dengan ikhlas memberi uang atau makanan.
Sebagian keluarga dan lingkungan ada yang mengkondisikan makhluk cacat sebagai kaum pinggiran. Malah sebagian dari mereka yang mengaku normal mengeksploitasi makhluk cacat untuk mengais belas kasihan orang-orang untuk kepentingannya. Mereka menyuruh orang-orang cacat atau hewan-hewan cacat untuk mengemis di jalanan.
Sebenarnya kalau manusia memberi tempat yang memadai untuk kaum difabel untuk bergerak di ruang publik, mereka akan lebih senang menjalani kehidupan bermartabat. Sayang belum semua orang ramah kepada kaum difabel."
"Semoga Tuhan memberkatimu." jawab kucing jantan itu lirih.
"Sebagian besar kalangan belum menempatkan kaum difabel pada posisi sosial yang adil dan setara. Bahkan di kehidupan sehari-hari, masyarakat enggan menerima kaum difabel apa adanya di lingkungan sosial mereka.
Kadang-kadang terjadi kekerasan terhadap difabel seperti seorang buta ditolak mendaftar ujian pegawai negri sebab tidak tersedia soal test dalam huruf braile. Pemakai kursi roda ditolak kuliah sebab kelas-kelasnya berada di lantai tiga, sementara tidak ada lift. Dinas tenaga kerja menolak difabel mengikuti kursus, sebab menurut mereka tempat difabel di dinas sosial,..."
Kucing itu mengeong lirih. Tetapi tiba-tiba datang seseorang memanggil-manggil, "Jack!Jack!" Kucing itu mengeong-ngeong nyaring.
"Oh di situ kau rupanya, Jack!" kata seorang lelaki separuh baya sambil meraih dan menggendong kucing itu. Lelaki itu tampak ramah, cerdas, tampan, dan bersahaja.
"Oh kau dapat teman baru ya, Jack!" kata lelaki itu. Jack mengeong-ngeong beberapa kali. Seolah-olah lelaki itu mengerti apa yang Jack katakan. Ia menghampiri Momo dan berkata, " Hari menjelang petang, kami mau pulang. Jalau kau berkenan ayo ikut ke rumahku dan tinggal di sana!"
Mereka pun pergi dari tempat itu ketika matahari mulai terbenam. Menyongsong semilir angin senja, meninggalkan satu dua pohon bambu dan cemara.Â
Sebelum hutan itu dilibas orang-orang kota. Sebelum tak terdengar gemerisik dedaunan. Sebelum pepohonan dan hewan-hewan tinggal rangka. Sebelum irama lembah dan ladang tinggal cerita sunyi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H