Mohon tunggu...
Wahyu Barata
Wahyu Barata Mohon Tunggu... Penulis - Marketing Perbankan

Wahyu Barata.Lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain.Kini bekerja sebagai marketing perbankan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Momo dan Jack

31 Desember 2021   22:21 Diperbarui: 31 Desember 2021   22:22 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebenarnya kalau manusia memberi tempat yang memadai untuk kaum difabel untuk bergerak di ruang publik, mereka akan lebih senang menjalani kehidupan bermartabat. Sayang belum semua orang ramah kepada kaum difabel."

"Semoga Tuhan memberkatimu." jawab kucing jantan itu lirih.

"Sebagian besar kalangan belum menempatkan kaum difabel pada posisi sosial yang adil dan setara. Bahkan di kehidupan sehari-hari, masyarakat enggan menerima kaum difabel apa adanya di lingkungan sosial mereka.

Kadang-kadang terjadi kekerasan terhadap difabel seperti seorang buta ditolak mendaftar ujian pegawai negri sebab tidak tersedia soal test dalam huruf braile. Pemakai kursi roda ditolak kuliah sebab kelas-kelasnya berada di lantai tiga, sementara tidak ada lift. Dinas tenaga kerja menolak difabel mengikuti kursus, sebab menurut mereka tempat difabel di dinas sosial,..."

Kucing itu mengeong lirih. Tetapi tiba-tiba datang seseorang memanggil-manggil, "Jack!Jack!" Kucing itu mengeong-ngeong nyaring.

"Oh di situ kau rupanya, Jack!" kata seorang lelaki separuh baya sambil meraih dan menggendong kucing itu. Lelaki itu tampak ramah, cerdas, tampan, dan bersahaja.

"Oh kau dapat teman baru ya, Jack!" kata lelaki itu. Jack mengeong-ngeong beberapa kali. Seolah-olah lelaki itu mengerti apa yang Jack katakan. Ia menghampiri Momo dan berkata, " Hari menjelang petang, kami mau pulang. Jalau kau berkenan ayo ikut ke rumahku dan tinggal di sana!"

Mereka pun pergi dari tempat itu ketika matahari mulai terbenam. Menyongsong semilir angin senja, meninggalkan satu dua pohon bambu dan cemara. 

Sebelum hutan itu dilibas orang-orang kota. Sebelum tak terdengar gemerisik dedaunan. Sebelum pepohonan dan hewan-hewan tinggal rangka. Sebelum irama lembah dan ladang tinggal cerita sunyi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun