hadiahnya pun harus yang bersifat mendidik pula untuk kreativitas anak.
Peran punishmen dan reward harus berjalan dengan baik. Kondisi berbaliknya akan terlihat, misalnya karena sudah biasa diberi uang setiap selesai pekerjaan suatu saat orang tua tidak memberi, sehingga anak menggerutu bahkan tidak mau berpuasa gara-gara orang tua lupa atau bahkan tidak memberi sama sekali uang jajan tambahan. Agak biruk untuk memancing kreativitas berpuasa, tetapi ini lebih baik daripada tidak memuji kebaikan anak sama sekali.
Orang tua perlu mengetahui, anak jarang bisa memahami bahwa puasa itu melatih kesabaran, bahkan pahalanya besar di sisi Allah. Â Keimanan anak masih berproses. Yang anak fahami bahwa puasa itu menambah uang jajan. Â Anak masih memahami bahwa hadiahnya nyata dan tidak bisa ditunda.
Tugas orang tualah terus-menerus melatih makna hakikat puasa itu sendiri sejalan dengan kedewasaan hingga pemahaman keimanan mereka lebih lanjut. Pemahaman hakikat puasa dapat dicoba secara berkesinambungan.
Misalnya puasa itu akan melatih kesadaran. Saat anak menangis, merengek meminta buka puasa, atau berkelahi, bahkan mendadak marah, orang tua harus mengingatkan bahwa dia sedang puasa. Insya Allah kalau terus-menerus diingatkan dia bisa meredam emosinya.Â
Puasa anak tidak sama dengan puasa orang dewasa. Orang tua yang harus lebih bijak untuk lebih memudahkan mengikuti ajaran agama yang dipelajari sejak dini.
Lebih penting lagi kondisi keluarga dan lingkungan yang menciptakan suasana mendukung. Sebab nilai amaliah puasa suci Ramadhan untuk anak-anak bisa dimulai sejak dini dari dua tempat itu.
Mendidik anak di samping tugas utama kita (amanah Allah), pahalanya mengalir, meskipun kita sudah meninggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H