Bercerita tentang Garut adalah kota kecil letaknya kurang lebih 60 kilometer di selatan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat Bandung.Kota ini dikelilingi gunung-gunung, terkenal dengan domba, dodol,jeruk Garut, selain itu terkenal juga batik Garutan, tempat wisata Kawah Papandayan, pemandian air panas di Cipanas, situs bersejarah Candi Cangkuang, perkebunan teh, Pantai Sayang Heulang, Kampung Sampireun,dan masih banyak lagi agrowisata ,tempat-tempat wisata di dataran tinggi dan pantai yang asri dan mengesankan, menarik minat wisatawan untuk selalu berkunjung lagi.
Inilah Garut, kota tempat saya dilahirkan,sebelum saya mendapat kartu tanda penduduk dari Republik Indonesia pada saat saya berumur 17 tahun. Saya sangat merasa senang, pada saat bersama ribuan orang napak tilas memperingati hari jadi Garut (waktu itu 17 Maret 1813 - 17 Maret 2007), kami berjalan kaki dari Limbangan, Cibatu, Sukawening,Wanaraja, Karangpawitan, sampai ke Garut Kota.
Saya mendapat titik terang yang malu-malu terbit (salah satu sebabnya leluhur saya tidak berasal dari Garut atau Jawa Barat, tetapi banyak ikut andil dalam perjuangan dan sejarahnya). Seluruh perdebatan tentang sejarah Garut tersapu tetes keringat orang-orang yang kemudian kembali ke kehidupannya sehari-hari.
Seorang sesepuh menceritakan dari buku sejarah yang dibacanya, bahwa pada tanggal 7 Juli 1919 Residen Priangan Jhr L de Stuers pergi ke desa Cikendel, Garut, bersama Bupati Garut Raden Tumenggung Soeria Karta Legawa, beberapa pamong praja, dan pasukan polisi bersenjata, untuk menemui Haji Hasan seorang tuan tanah.
Stuers membicarakan kepada Haji Hasan  mengenai kewajiban rakyat menjual hasil panen kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Sebab panen sedang buruk, Gubernemen merasa harus melindungi ekonomi petani. Haji Hasan menolak usulan itu sehingga bersama lima orang pengawalnya harus menerima muntahan peluru dari pasukan polisi. Menurut sejarahwan Hans van Miert satu peluru menembus jimat yang terikat pada dahi Haji Hasan sehingga Haji Hasan dan tiga orang pengawalnya tewas dan dua orang lainnya luka berat.
Organisasi-organisasi seperti Indische Sociaal Democratische Vereniging, Nationaal Indische Partij, dan Sarekat Islam, berkonsolidasi dan menggalang protes. Afdeling B bahkan diisukan akan membantai orang Eropa dan Tionghoa. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda pun bereaksi sangat keras.
Isu Garut membuat marah kementrian daerah jajahan kerajaan Belanda. Tokoh Sosialis Vramer mengecam pemerintah. Hazeu, penasihat Belanda yang sangat dihormati para aktivis pribumi marah dan pulang ke Belanda.Gubernur Jendral van Limburg Stirum sangat marah kepada residen Stuers dan memecat Bupati Garut.
Di masa-masa selanjutnya aktifitas sosial dan politik berkembang di Garut hingga Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Garut pun pernah menjadi pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat ketika pasukan Inggris membonceng pasukan Belanda menguasai Bandung untuk melucuti pasukan Jepang. Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia berlalu Garut kembali menjadi pusat perhatian. Kartosuwiryo memproklamasikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, berpusat di Garut, mengangkat senjata melawan pemerintah Republik Indonesia. Tentara Nasional Indonesia berhasil menumpas pemberontakan itu.
Ada lagi yang menarik perhatian saya ketika guru kami wartawan senior segala jaman Pak Haji Rosihan Anwar pada suatu pertemuan bercerita tentang Edy Du Perron (1899-1940), pengarang Belanda kelahiran Jatinegara yang terkenal dengan romannya yang berjudul Het Land van Herkomst (Negri Asal-Usul).
Tatkala tinggal dan bekerja di Bandung Edfy Du Perron menulis roman, essay, dan sajak untuk majalah sastra Kritiek en Opbouw. Salah satu sajaknya berjudul Garut bij nacht ( Garut di Waktu Malam).
"Tiga palem dalam gulita
tiga palem dalam Sang Bayu
Bisikan-bisikan alit, bunyi-bunyi yang direka
Bulan ditutup oleh mega, ditutup
suatu sinar, di bawah gelegak air,
terkadang memukul segenap wajah malam
Damar, pohon-pohon ketapang,Â
ketakutan dilengketkan bersama
di atas apa yang orang dengar mengalir
menjadi sebuah buket yang padu
Di belakangnya adalah gunung-gunung mencair
dengan udara dan apa yang harus bersembunyi
telah lama lari ke sana
Desa tetap ada di sini
memucat dan menyebar
Percayalah akan kehidupan,
ia terkadang membahagiakan kita
Punah setiap kejayaan, dengan mata seorang bocah
Bisikan, o bisikan
Tiga palem dalam Sang Bayu." (Rosihan Anwar : 2006).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H