Mohon tunggu...
Kiki Dian Lesmana
Kiki Dian Lesmana Mohon Tunggu... Freelancer - Bachelor of Communication Studies

Love media and communication studies

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Budaya Populer, Ketika Popularitas Menjadi Konstruk yang Didewakan

24 November 2019   21:12 Diperbarui: 13 April 2021   15:05 13794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya populer merupakan residu dari budaya tinggi yang sengaja dibuat untuk menyenangkan orang banyak. Sehingga produk budayanya bersifat subjektif dan cenderung tidak mengandung parameter kualitas seni. 

Dalam budaya populer, seni tidak lagi dimaknai secara serius dan hanya berorientasi pada hiburan semata. Salah satu hal yang paling melekat pada budaya populer adalah konstruk popularitasnya.

Di zaman sekarang ini, kita banyak sekali menjumpai produk-produk budaya populer, salah satunya adalah kumpulan musik pop dari band populer seperti Noah, Wali, Slank, Armada dan masih banyak lagi. 

Apabila dilihat dari teknik musikalitasnya, notasi nada pada lagu-lagu yang dibuat oleh semua band ini tidaklah rumit. Begitupula dari segi liriknya, yang mana semua orang dapat dengan mudah menghafalkan liriknya. 

Selain itu, adapula musik dangdut dan keroncong yang juga masuk dalam low culture dan dapat dikategorikan sebagai produk folk culture atau seni kebudayaan yang berasal dari rakyat.

Namun setelah kaum kapitaslime mencampurkan high culture dan low culture ke dalam atribusi yang sama. Dinding pemisah antara budaya tinggi dan budaya popular telah runtuh. Hal ini dipengaruhi oleh hadirnya media massa yang melahirkan budaya massa atau budaya komersial.

Hal inipun membuat kita kerap kali keliru dalam membedakan mana budaya yang didefinisikan sebagai produk low culture ataupun high culture. Contohnya adalah The Beatless yang dewasa ini kerapkali didefinisikan sebagai bagian dari budaya tinggi. 

Hal ini dilihat dari parameter musiknya yang dinilai dapat meningkatkan status sosial orang-orang. Padahal nyatanya dulu musik The Beatless dikategorikan sebagai budaya populer. 

Pencampuran inilah yang telah menyebabkan terbentuknya ilusi kelas-kelas sosial dalam masyarakat penikmat produk budaya populer. Yang mana banyak orang yang menganggap konsumsi produk budaya populernya mempunyai nilai seni yang tinggi dan dianggap luhur. 

Contohnya, kita akan cenderung menganggap diri kita lebih luhur dan mempunyai selera musik yang tinggi apabila kita menyukai musik-musik yang dilantunkan oleh The Beatless dibandingkan dengan musik-musik yang dilantunkan oleh Via Vallen ataupun Nella Kharisma. 

Padahal sejatinya kedua musik ini secara kontekstual dikategorikan sebagai produk budaya rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun