Namun ditahun 2019 ini, justru penampilan Gregoria berbanding terbalik dengan tahun lalu. Gregoria hampir selalu terhenti dibabak awal. Walaupun pada beberapa turnamen yang diikuti, sejatinya Gregoria hampir berhasil memberikan kejutan dalam mengatasi beberapa pemain papan atas dan sudah hampir menang. Namun sayangnya, ketika sudah unggul perolehan poin dari lawannya, dipenghujung set ia selalu tertikung.
Ini menandakan bahwa stablitas mental dan titik fokusnya masih sangat lemah. Mental juaranya pun tidak terlihat sama sekali di lapangan. Gregoria juga kerapkali menunjukkan mimik wajah yang lemas dan kurang garang di lapangan, aura semangatnya tidak terpancar sama sekali.
Tentunya, secara psikologis hal ini berpengaruh pada fokusnta ketika memeroleh tekanan besar dari lawan diatas lapangan. Dengan semangat yang menggebu, semestinya tekanan sebesar apapun bisa dikelola dengan baik.
Namun dengan aura semangat yang lemah, ditambah makin besarnya tekananan, hal tersebut bisa berdampak pada kualitas permainan Gregoria yang menjadi jorok sekali alias banjir error.
Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah baru untuk PBSI yang harus bisa berbenah ditahun 2020 nanti agar bisa memperbaiki kualitas sektor putri yang masih kalah saing dengan negara lain.
PBSI hraus bisa mengejar ketertinggalan dari China, Jepang dan Korea. PBSI bisa mencontoh Korea yang mampu bangkit sektor puterinya dalam kurun waktu setahun ini.
Bahkan sekarang sektor puteri Korea lebih bersinar dari Jepang. Apabila PBSI tidak segera mengerjakan pekerjaan rumahnya, sektor puteri Indonesia hanya akan terus menjadi penghias draw dan menjadi bulan-bulanan negara lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI