"Tahun 2021 Badan Bahasa menemukan bahwa 25 bahasa daerah terancam punah dan 11 bahasa daerah sudah punah, terutama di Indonesia bagian Timur"Â
Mengapa Trigatra Bangun Bahasa "Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah dan Kuasai Bahasa Asing" yang dibuat setelah terbitnya UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, gencar disosialisasikan oleh Badan Bahasa dari tahun ke tahun? Â Dan mengapa bahasa daerah begitu mendapat perhatian khusus dari Badan Bahasa?
Karena bahasa daerah bukan hanya sebagai bahasa yang digunakan oleh masyarakat - terutama di pelosok daerah terpencil - sebagai bahasa komunikasi. Bahasa daerah juga merupakan identitas diri dan budaya sebuah masyarakat, sekaligus penggambaran bagaimana sebuah tatanan hidup masyarakat terbentuk dan dijalankan lewat kosakata dan dialek sehari-hari.Â
Revitalisasi dan Pentingnya Bahasa Daerah
Proses pembelajaran bahasa daerah sebagai bahasa ibu dimulai dari rumah karena benteng pertahanan bahasa daerah paling akhir dan paling kuat adalah keluarga. Apabila orangtua sudah tidak menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa ibu, maka ini adalah bencana. Sebagaimana yang disebutkan dalam laporan UNESCOÂ bahwa setiap dua minggu akan muncul kehilangan bahasa daerah. Dari 7.600-an bahasa daerah di dunia, sudah banyak yang mengalami kepunahan yang ditengarai gejala kepunahannya karena masyarakat tidak menggunakan bahasa daerahnya sama sekali dalam pergaulannya sehari-hari. Pergaulan paling intensif sebenarnya justru dari keluarga dimana orangtua seharusnya menurunkan pengetahuan bahasa daerahnya pada anak melalui percakapan sehari-hari.
Melalui revitalisasi bahasa daerah yang digagas Badan Bahasa inilah perlu disampaikan informasi dan edukasi pada orang tua dan masyarakat betapa pentingnya bahasa daerah. Respon positif ternyata datang dari para orangtua dan guru yang begitu antusias saat mengetahui adanya program revitalisasi ini.Â
Bahasa daerah adalah aset, bukan beban, karena kehilangan aset tentu merupakan kehilangan  besar bagi masyarakat dan bangsa Indonesia itu sendiri. Bahasa daerah itu adalah sikap bahasa dari para penuturnya (language attitude). Kalau seorang penutur menganggap bahasa daerah tidak bergengsi, adalah sikap negatif dan sangat disayangkan. Padahal harus kita yakini bahwa globalisasi itu sendiri tidak akan mampu menghilangkan keunikan-keunikan sebuah daerah secara utuh. Bahasa daerah akan tetap menjadi identitas dan kebanggaan sebagai bahasa ibu.
Revitalisasi bahasa daerah bukan untuk menghilangkan seluruh potensi yang akan membuat bahasa daerah itu hilang. Hal ini karena kehilangan bahasa daerah itu adalah keniscayaan, mengingat tren bahasa daerah memang cenderung menurun tingkat penggunaannya. Revitalisasi ini berguna untuk menghambat kepunahannya, agar masyarakat sadar dan mau menggunakannya. Berapa persen kenaikan revitalisasi ini pada masyarakat? Tentu Badan bahasa harus melakukan uji vitalitas terlebih dahulu untuk mengukur kemampuan seberapa lambatnya kepunahan sebuah bahasa daerah.
Tantangan Bahasa Daerah
Menjadi tantangan terbesar itu adalah ketika masyarakat memiliki sikap yang rendah (diri) terhadap bahasa daerahnya sendiri. Namun, beberapa daerah sudah mewajibkan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa komunikasi pada aktivitas sehari-hari. Conthnya setiap hari Jumat Pemda Yogyakarta sudah mewajibkan penggunaan bahasa daerah dan Rebo Nyunah di Jawa Barat.