Mohon tunggu...
Kiki Handriyani
Kiki Handriyani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis freelance, Founder Blogger Mungil (Blogger Mungil), Kontributor di media online. Sudah menerbitkan beberapa buku. Buku solo terbit 2010 yaitu sebuah novel "Jadikan Aku Yang Pertama", kemudian buku antologi bisnis berturut-turut.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ada Apa dengan Kesehatan Mental Masyarakat?

11 November 2023   16:21 Diperbarui: 11 November 2023   16:33 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kekerasan Pada Perempuan ( Suara.Com)

    

Kasus kekerasan seksual, KDRT dan bunuh diri yang makin marak terjadi beberapa tahun belakangan ini meruntuhkan pertahanan diri, mengoyak harkat dan martabat perempuan, serta meninggalkan pertanyaan, apakah institusi bernama keluarga masih dimaknai secara jujur berlandaskan keimanan , norma serta adat istiadat?

Keluarga Pondasi Dasar

Keluarga sebagai kelompok terkecil dari struktur masyarakat memiliki peran yang sangat penting sebagai tempat pertama seseorang mendapatkan nilai-nilai budi pekerti, mengenal emosi, belajar berkomunikasi, belajar berempati, serta bagaimana bertanggungjawab pada diri sendiri dan lingkungannya.

Sebagai pondasi dasar peletakkan nilai-nilai kebajikan, sudah seharusnya keluarga memiliki peran ganda sebagai tempat berlindung sekaligus benteng pertahanan dari hal-hal yang dapat mengganggu dan merusak generasi muda. Namun, sayangnya fungsi dan peran keluarga saat ini justru berubah menjadi tempat menakutkan dan tak aman bagi seseorang.

Mental Sakit Berujung Pada Kasus 

Kasus tewasnya seorang anak SD hanya karena meminjam HP ibunya menyentak perhatian kita. Terlepas dari pembelaan disi sang ibu yang menganggap putranya nakal, apakah menghilangkan nyawa buah hatinya sendiri menjadi satu-satunya jalan pintas untuk menyelesaikan masalah? Apalagi sejak orangtuanya bercerai, anak tersebut hampir tak terurus. Sang ibu sibuk dengan urusannya dan membuat si anak hidup lontang-lantung, bahkan tidur di sembarang tempat.

Sebagai seorang ibu dan sesama perempuan, tentu akan bertanya-tanya, kemana hilangnya hati nuraninya sebagai seorang ibu? Jika anak dianggap nakal, bukankah tugas sebagai ibu salah satunya adalah mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang?

Atau, jangan-jangan mental si ibu, paman, dan kakeknya adalah mental psikopat di bawah kendali  orang lain? Padahal psikopat jenis ini justru yang berbahaya karena dia hadir di tengah-tengah keseharian kita serta tanpa disadari membawa pengaruh buruk.

Nyawa hilang semurah jajanan, begitu pula dengan keperawanan. Lagi-lagi keluarga sebagai benteng pertahanan seorang anak, kini menjadi penyumbang masa lalunya yang kelam. Kasus terbaru yang viral adalah seorang ayah merudapaksa dua anak perempuannya yang sedang beranjak remaja.

Kejadian yang berlangsung sejak 2019 hingga 2023 membuat usia kita mendadak lebih tua karena tak habis berfikir. Bagaimana mungkin seorang ayah mampu melakukan hubungan seksual pada putrinya, darah dagingnya sendiri? Bukankah tugas seorang ayah adalah menjaga keselamatan anak gadisnya hingga tiba masanya dipinang laki-laki yang baik? Bahkan ketika anak gadisnya mendapat perlakukan tidak senonoh dari orang lain pun, seharusnya seorang ayah rela mengorbankan segalanya demi menjaga marwah anaknya.

Alasan apa yang membuat sang ayah tega melakukan kebejatan itu selama bertahun-tahun? Bukankah jika tidak memiliki istri, dia dapat menyalurkan nafsunya pada PSK (meski ini pun tidak dianjurkan secara agama dan norma)? Jika seorang ayah yang menjadi cinta pertama anak gadisnya saja tega menggauli, lantas pada siapa anak perempuan mempercayai hidup dan masa depannyaa?

Timbul pertanyaan lain, jika sejak 2019 terjadi, mengapa dua putrinya tidak melakukan perlawanan atau tindakan penyelamatan diri lainnya? Usia remaja adalah usia yang sedang masuk tahap berfikir dewasa, mulai mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Tak adalah niat untuk menyelamatkan diri dengan meminta pertolongan pada tetangga, keluarga, atau pihak berwajib?

Terlepas dari rasa simpati kita karena mereka masih di bawah umur dan menjadi korban,  masyarakat pun akhirnya berasumsi liar, jangan-jangan kedua putrinya lama-lama merasakan kenikmatan karena sudah masuk masa pubertas? Hal ini kiranya harus menjadi perhatian bahkan penelitian para psikolog dan pihak yang berwenang untuk meneliti dan mencari sumber pemikiran, apa yang membuat mereka melakukan pembiaran terhadap pelaku?

Kehidupan yang keras, makin keras saat media sosial dipenuhi oleh berbagai kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bukan hanya menimpa perempuan dari kalangan ekonomi bawah, bahkan ara perempuan dari kalangan kelas menengah ke atas pun kerap menjadi korban. Penampilannya yang sopan, intelek, ramah, senang membantu, kerap menjadi alat kamuflase atas indikasi jenis PSIKOPAT KARISMATIK. 

Saat kasus KDRT mencuat, kecenderungan masyarakat sudah tentu akan membela kaum perempuan sebagai pihak yang lemah dan perlu dilindungi, sehingga cap sebagai pelaku KDRT langsung terarah pada laki-laki.

Pada banyak kasus perempuan memang paling sering menjadi korban karena dari segi fisik dan emosi sudah jelas perempuan lebih lemah. Berbagai alasan dikemukakan laki-laki karena kesal bahkan marah pada pasangan, pasangan tidak sopan pada keluarga suami, gaya hidup istri yang tidak bercermin pada kenyataan, bahkan istri selingkuh.

Namun, pernahkah kita sejenak duduk merenung dan berfikir seimbang, apakah selamanya KDRT itu mutlak kesalahan laki-laki? Bukankah laki-laki juga manusia biasa yang memiliki emosi dan sesekali ingin menangis? Apakah perempuan makhluk lemah lantas tidak pernah melakukan kesalahan?

Pada kasus KDRT, ada baiknya kita memiliki keluasan berfikir dan bijak menganalisis bahwa pada kasus-kasus tertentu, laki-laki justru menjadi pelaku karena pasangannya yang memiliki tindakan kurang terpuji. Memahami akar masalah sebuah kasus tanpa menggeneralisir aadalah sebuah tindakan cerdas bahwa mental laki=laki pun kadang perlu diselamatkan.

Harus Bagaimana?

Menarik saat kita mencoba menganalisis kasus per kasus tanpa melibatkan hati dan perasaan sesuai jenis kelamin. Dengan makin maraknya kasus kekerasan, bunuh diri, perundungan, rudapaksa, bahkan LGBT, kiat perlu diam sejenak sambil mengaminkan dalam hati," Mental Sehat, Hidup Bahagia. Mental Rusak, Nereka Tempatnya." 

Apa pun tindakan seseorang, semua dikendalikan oleh pikiran dan hatinya. Tindakan baik, artinya pemilik hati rajin menyirami dengan pupuk kebaikan dan air kesejukan. Tindakan buruk, berarti pemilik hati lupa memberi nutrisi menyehatkan untuk hati dan pikirannya. 

Maka pada kasus-kasus perundungan, kekerasan seksual, KDRT, bunuh diri, pembunuhan, dan penganiayaan dengan mengedepankan emosi dan ego, dapat dipastikan bahwa ada yang salah dengan mental pelakunya. Manajemen emosi yang buruk, trauma berkepanjangan tanpa solusi menyehatkan, keimanan yang tipis,lingkungan yang menyuburkan,  serta kepekaan pada sesama yang kurang, menjadi beberapa faktor penyebab tindakan negatif.

Agaknya di Indonesia mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Budi Pekerti perlu dikembalikan dalam kurikulum pembelajaran. Masuk ke ranah remaja dan mahasiswa perlu diadakan program khusus untuk membina mental dan sikap tangguh agar mereka memiliki benteng saat menghadapi masalah. Untuk orang dewasa yang sudah memasuki pernikahan, hendaknya lembaga pernikahan dan pihak-pihak terkait lainnya perlu makin mengedukasi tentang hak dan tanggungjawab dalam pernikahan.

Kesehatan mental tidak bisa hanya dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Perlu pihak-pihak pendukung seperti keluarga, pasangan, teman, serta lembaga negara agar masyarakat benar-benar menghargai arti hidupnya sendiri.

Catatan : 

Artikel ini ditulis oleh :

Kelompok : 8 ( Okti Fajriah  202221500428 - Kiki handriyani 202221500341 - Mikdad 202221500424 - Dita permata sari 202221500500 )

Mata Kuliah  : Menulis

Dosen Pengambu  : Yolanda, M.Pd

Prodi Bahasa Indonesia S1 Non Reguler Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun