Alasan apa yang membuat sang ayah tega melakukan kebejatan itu selama bertahun-tahun? Bukankah jika tidak memiliki istri, dia dapat menyalurkan nafsunya pada PSK (meski ini pun tidak dianjurkan secara agama dan norma)? Jika seorang ayah yang menjadi cinta pertama anak gadisnya saja tega menggauli, lantas pada siapa anak perempuan mempercayai hidup dan masa depannyaa?
Timbul pertanyaan lain, jika sejak 2019 terjadi, mengapa dua putrinya tidak melakukan perlawanan atau tindakan penyelamatan diri lainnya? Usia remaja adalah usia yang sedang masuk tahap berfikir dewasa, mulai mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Tak adalah niat untuk menyelamatkan diri dengan meminta pertolongan pada tetangga, keluarga, atau pihak berwajib?
Terlepas dari rasa simpati kita karena mereka masih di bawah umur dan menjadi korban, Â masyarakat pun akhirnya berasumsi liar, jangan-jangan kedua putrinya lama-lama merasakan kenikmatan karena sudah masuk masa pubertas? Hal ini kiranya harus menjadi perhatian bahkan penelitian para psikolog dan pihak yang berwenang untuk meneliti dan mencari sumber pemikiran, apa yang membuat mereka melakukan pembiaran terhadap pelaku?
Kehidupan yang keras, makin keras saat media sosial dipenuhi oleh berbagai kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bukan hanya menimpa perempuan dari kalangan ekonomi bawah, bahkan ara perempuan dari kalangan kelas menengah ke atas pun kerap menjadi korban. Penampilannya yang sopan, intelek, ramah, senang membantu, kerap menjadi alat kamuflase atas indikasi jenis PSIKOPAT KARISMATIK.Â
Saat kasus KDRT mencuat, kecenderungan masyarakat sudah tentu akan membela kaum perempuan sebagai pihak yang lemah dan perlu dilindungi, sehingga cap sebagai pelaku KDRT langsung terarah pada laki-laki.
Pada banyak kasus perempuan memang paling sering menjadi korban karena dari segi fisik dan emosi sudah jelas perempuan lebih lemah. Berbagai alasan dikemukakan laki-laki karena kesal bahkan marah pada pasangan, pasangan tidak sopan pada keluarga suami, gaya hidup istri yang tidak bercermin pada kenyataan, bahkan istri selingkuh.
Namun, pernahkah kita sejenak duduk merenung dan berfikir seimbang, apakah selamanya KDRT itu mutlak kesalahan laki-laki? Bukankah laki-laki juga manusia biasa yang memiliki emosi dan sesekali ingin menangis? Apakah perempuan makhluk lemah lantas tidak pernah melakukan kesalahan?
Pada kasus KDRT, ada baiknya kita memiliki keluasan berfikir dan bijak menganalisis bahwa pada kasus-kasus tertentu, laki-laki justru menjadi pelaku karena pasangannya yang memiliki tindakan kurang terpuji. Memahami akar masalah sebuah kasus tanpa menggeneralisir aadalah sebuah tindakan cerdas bahwa mental laki=laki pun kadang perlu diselamatkan.
Harus Bagaimana?
Menarik saat kita mencoba menganalisis kasus per kasus tanpa melibatkan hati dan perasaan sesuai jenis kelamin. Dengan makin maraknya kasus kekerasan, bunuh diri, perundungan, rudapaksa, bahkan LGBT, kiat perlu diam sejenak sambil mengaminkan dalam hati," Mental Sehat, Hidup Bahagia. Mental Rusak, Nereka Tempatnya."Â
Apa pun tindakan seseorang, semua dikendalikan oleh pikiran dan hatinya. Tindakan baik, artinya pemilik hati rajin menyirami dengan pupuk kebaikan dan air kesejukan. Tindakan buruk, berarti pemilik hati lupa memberi nutrisi menyehatkan untuk hati dan pikirannya.Â