Mohon tunggu...
Rizki Alfi Syahril
Rizki Alfi Syahril Mohon Tunggu... -

suka membaca, menulis, dan berdiskusi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perkembangan Korupsi di Aceh

14 Maret 2011   04:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:48 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harian Kompas edisi Kamis, 30 Desember 2010, juga menurunkan laporan terkait Otonomi Daerah Aceh dengan tajuk “Aceh Dihantui Darurat Korupsi”. Dalam reportase ini, disebutkan bagaimana pola pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh Eksekutif dan Legislatif yang rawan dan diduga berindikasi korupsi. Provinsi Aceh telah memperoleh dana yang besar sekali yang berasal dari dana tanggap darurat dan bantuan pemulihan bencana serta dana otonomi khusus. Dana otonomi khusus yang dianggarkan sejak tahun 2008 ini juga membuat jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Aceh meningkat dari tahun ke tahunnya.

Penggunaan dana kerja gubernur/wakil gubernur yang diajukan sejak tahun 2009 sebesar Rp. 68 miliar per tahun dan dana Rp. 5 miliar per tahun per anggota DPR Aceh atau total Rp. 413 miliar untuk semua anggota dewan, hingga hari ini pertanggungjawabannya tidak jelas. Polemik soal dana kerja gubernur/wakil gubernur dan dana aspirasi hanyalah satu dari sederet kekacauan pengelolaan keuangan di Aceh. Kekacauan yang lain adalah pelaksanaan proyek-proyek tanggap darurat melalui penunjukan langsung (PL), yang dilakukan setelah terbitnya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) oleh gubernur/wakil gubernur.

Ada dugaan potensi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah akan meningkat seiring diadakan pemilihan 18 kepala daerah di kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Asumsinya pejabat di daerah akan lebih memberi perhatian pada pemilihan kepala daerah, sehingga pengendalian pengelolaan keuangan daerah akan berkurang, serta sebagian pejabat potensial tergoda untuk menggunakan kewenangan dan keuangan bagi kepentingan sendiri dalam pemilihan kepala daerah (Bambang Widjojanto, Kompas, 20/8/2009).

Hal ini dikarenakan sebagaimana pernyataan anggota Komisi III dari F-PKS di DPR RI, Gaman Sutrisno bahwa fenomena maraknya korupsi berjamaah di daerah salah satunya disebabkan mahalnya ongkos politik menjadi kepala daerah. Dengan penghasilan yang tak seberapa, kepala daerah yang terpilih berusaha mengembalikan pengeluarannya saat berkompetisi di pemilukada.

Nah, bagaimana di Aceh?

Rizki Alfi Syahril | Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Syiah Kuala.

Telah dimuat di http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=478:perkembangan-korupsi-di-aceh&catid=73:politik-hukum-ham-resolusi-konflik&Itemid=124

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun