Mohon tunggu...
Kiki Arisandi
Kiki Arisandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya bukan seorang penulis, tidak punya basic sebagai penulis, terkadang malas menulis, hanya saat saya ingin menulis saja saya menulis. Tetapi saya punya keinginan besar untuk menjadi seorang "PENULIS"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Potret "Pendidikan" Indonesia

26 Februari 2016   21:33 Diperbarui: 26 Februari 2016   22:37 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan di Indonesia saat ini mengalami banyak kebingungan -sepertinya- di karenakan ada 2 kurikulum yang berlaku. Antara satu sekolah dengan sekolah yang lainnya materi pelajaran yang di ajarkan tidak sama. Satu pakai KTSP dan yang satu pakai K13. Di dalam buku KTSP sangat kaya akan materi yang di ajarkan, sedangkan pada buku K13 bukunya hanya satu dan di situ mencakup semua materi. Ada yang bilang bahwa buku K13 seperti "MAJALAH" karena di situ lebih banyak gambar daripada materi yang di ajarkan (di tingkat Sekolah Dasar).

Banyak orang tua siswa yang mengeluh dengan adanya K13, mereka khawatir jika nanti saat ujian putra putrinya tidak dapat mengerjakan dengan baik, sedangkan standart nilai kelulusan semakin meningkat. Faktanya buku panduan K13 Sekolah Dasar kelas 3, materi matematika sangat sedikit sekali dan juga materi yang tentang perkalian hampir tidak ada sama sekali. Padahal di kelas 5 sudah mulai masuk perhitungan pecahan, perkalian bilangan desimal, dan akar kuadrat. Apa belajar perkalian cukup hanya 1 tahun di kelas 4?


 

Dari hasil pengamatan yang saya lakukan hampir 85% siswa kelas 3 SD saat ini belum bisa menghitung perkalian. Ini berakibat pada di penghujung kelas di tingkat sekolah dasar. Di kelas 6 mereka harus di paksa untuk bisa dan bahkan hafal perkalian. Bagaimana bisa menghafal sedangkan pada tingkat sebelumnya mereka sangat minim menerima materi perkalian.

Desas - desus kabar berita yang saya dengar bahwa di K13 ini guru di tuntut kreatif dan siswa di tuntut aktif. Bagi guru - guru muda mereka dapat menerapkan konsep K13 tersebut dengan baik, sedangkan bagi guru - guru yang mendekati usia pensiun, mereka masih mengajar dengan metode lama, yaitu dengan satu buku yang minim materi  itu saja. Apa yang ada di dalam buku, yaitu yang mereka ajarkan. Apalagi di tuntut dalam 1 buku 1 tema harus habis dalam 1 bulan. Belum sampai 1 bulan terkadang buku ini sudah habis, karena di dalamnya hanya berisi banyak gambar, sedikit materi, sedikit soal latihan, dan banyak materi uji coba tetapi hampir sama sekali tidak di praktekkan. Padahal pelatihan guru, Workshop, PLPG untuk penerapan K13 ini terus di adakan dengan harapan bisa guru bisa action di depan kelas dengan baik. Tidak salah, guru yang aktif dapat melaksanakan dengan baik, tetapi taukah kita semua bahwa ada juga guru yang malas mengajar?? Jika ada, maka konsep dan metode pembelajaran K13 tidak akan pernah bisa di terapkan olehnya.

Di samping itu, dalam K13 siswa juga di tuntut aktif mencari informasi sendiri. Mereka di tuntut mencari informasi dari berbagai media -sak metuk'e- bisa dari buku, internet, dan lain - lain. Mereka yang aktif akan mencari dari media internet kebanyakan, tetapi juga tidak sedikit dari mereka yang malas mencari informasi dari media di karenakan beberapa kendala seperti : malas cari buku, beli buku mahal, tidak ada perpustakaan dekat rumah, hujan, jarak warnet jauh dari rumah, paket internet habis, dan bahkan ada dari mereka yang beralasan bahwa mereka tidak bisa membuka internet karena di sekolah tidak ada pelajaran komputer (TIK). Bukan tidak mungkin tetapi 30% bahkan hampir 50% anak di Indonesia tidak bisa memanfaatkan internet dengan baik, mereka hanya mengenal saja tetapi tidak bisa memanfaatkannya.

Selain itu, guru di zaman sekarang lebih di sibukkan dengan kepentingan pribadi. Guru sekarang terutama PNS di sibukkan dengan berbagai tuntutan dari pemerintah. Mulai dari mengisi pendaataan ulang, rapat dinas -gak ngerti rapat apa, tapi sering banget-, memikirkan kapan TPP cair, rapat koprasi, dan masih banyak lagi. Sehingga jarang dari mereka yang memikirkan goal  dari produk yang mereka kelola yaitu siswa. Apalagi saat ini ada aturan dari diknas bahwa di jenjang SD anak didik wajib naik kelas, apapun yang terjadi. Sehingga kebanyakan guru di jenjang SD berpendapat "wes babahno ga usah ngoyo, wong iso ga iso yo tetep munggah kelas, engkok nek kelas 6 mbasio bijine elek yo tetep lulus, mbasio sekolah nang swasta" dengan pendapat yang demikian itu seakan guru SD tidak menerapkan goal/hasil produk siswa yang bermutu, yang benar - benar layak naik kelas, dan layak untuk lulus dari SD dan layak untuk lanjut di tingkat selanjutnya.

 

HARAPAN :

"SEMOGA SEMUA INI SECEPAT MUNGKIN DAPAT DI BENAHI, DAN KITA BERSAMA CIPTAKAN GENERASI EMAS PENERUS BANGSA. INDONESIA MERDEKA, INDONESIA JAYA, INDONESIA CAHAYA ASIA, INDONESIA DI ATAS PANCASILA BERPEGANG TEGUH PADA TUT WURI HANDAYANI."

________________________________________________________________________

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun