Pematung Aksara
Aku belakangan ini semakin kualahan dengan semua drama hidup ini, hampir sekarat di beberapa hari.
Mencoba untuk tidak memikirkan apapun, ternyata semakin tidak difikirkan semakin membuat terus berfikir.
Sesak sekali rasanya, menjadi tonggak tanpa pemapah, berdiri sendiri layaknya gagah berani seolah-olah terpaut anginpun tak akan perduli.
Ingin kalah, tapi aku masih merasa mampu menang!
Ingin menyerah, tapi aku masih merasa aku belum payah!
Ingin tetap menebar pesona walaupun sudah hancur citranya.
Ketika sesak makin menembus mata hati
Ketika itu pula berkata untuk "jangan sekali-kali bulir dijatuhkan kembali"
Tak ingat apapun kecuali mengakhiri
Tak ingat apapun kecuali surgaku yang telah pergi
Tak ingat apapun lagi karena aku masih memiliki dua putra putri yang harus terus diberi kasih lebih setiap hari
Mengapa? Mengapa harus aku yang menjalani
Setiap gerak rintih terjangan badai dan angin topan yang menghadang
Nafas sesak, serta hati hancur yang meradang
Di pojok kamar kembali menjadi sosok pematri kata tanpa ujung cerita
Menerka apalagi dialog yang dimainkannya
Apalagi aksi yang ditunjukannya
Sudah yaaaah, aku lelah meramu kata, aku lelah menjadi susah atas asa yang tergesa, sudah cukup jika semuanya sirna.
Cirebon, 08 November 2022
Kiki Ambarizki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H