Mohon tunggu...
Dwi Rizki Wulandari
Dwi Rizki Wulandari Mohon Tunggu... -

Seorang ibu dua anak. Seorang dokter. Asisten pengusaha

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dakwaan MA pada Dr. Ayu dkk Salah Besar!

29 November 2013   13:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:32 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kalau Anda adalah orang berpendidikan tinggi, mungkin Anda bisa memilah dan memilih informasi yang Anda terima. Tapi, bagaimana kalau yang menjadi pasien dan keluarganya adalah orang semacam tetangga-tetangga saya yang hidup di desa, berpendidikan rendah, dan percaya pada apapun yang mereka dengar dan mengartikannya semau persepi mereka sendiri. Tidakkah hal rutin dalam dunia medis ini malah akan menimbulkan kehebohan?

Kembali pada kasus ini. Saksi Yulin Mahengkeng, 52 tahun, ibu Fransiska Makatey mengatakan bahwa sebelum operasi tidak ada penjelasan dari dokter kepada saksi tentang resiko operasi. Tapi, beliau menanda tangani surat persetujuan operasi pada hari Sabtu 2010 sekitar jam 9.00 malam. Ayah Fransiska, Anselumus Makatey, 53 tahun, juga mengatakan bahwa beliau disodori surat persetujuan untuk ditanda tangani sekitar jam 19.00 wita dan beliau mengatakan melihat tanda tangan istrinya di surat persetujuan itu.

Sepanjang pengetahuan saya ketika masih menjalani dokter muda di RSUD dr. Soetomo dan ketika bekerja di beberapa RS, form persetujuan tindakan medis bukanlah selembar kertas kosong. Dalam form itu terdapat tulisan yang menjelaskan tentang risiko tindakan medis secara umum. Memang, untuk setiap kasusnya, dokter harus menerangkan mengingat keunikan setiap kejadian. Tetapi, sebagai seorang dewasa yang sehat jasmani dan rohani, tidakkah seharusnya ayah dan ibu Fransiska bertanya apabila merasa belum mendapatkan keterangan dengan jelas? Terlebih, ketiga dokter menyangkal bahwa mereka tidak memberikan penjelasan pada keluarga Fransiska tentang kondisi Fransiska dan risiko operasi yang dijalaninya. Mungkin benar adanya bahwa para dokter ini telah menjelaskan hal-hal tersebut, namun tidak dipahami oleh keluarga Fransiska. Atau, mungkin saja memang komunikasi itu tidak dilakukan. Bisa saja. Saya tidak menampik bahwa sebagian dokter memang bukan komunikator yang baik. Tapi, apakah kalau dokter tidak menjelaskan risiko tindakan itu cukup untuk membawanya ke dalam bui? Coba tanya diri Anda yang pernah berada dalam situasi kritis, apakah Anda akan meminta keterangan panjang lebar tentang situasi kritis yang dihadapi anak, istri, atau suami Anda, ataukah memotong perkataan dokter sembari memaksanya segera bertindak alih-alih bicara? Jika kadangkala Anda memilih untuk pasrah, kenapa kali ini memilih ikut terbakar dan tidak terima saat keluarga Fransiska ‘merasa’ belum mendapatkan informasi?

Saya yakin, setelah kejadian ini para dokter dan tenaga medis lainnya tidak akan keberatan untuk belajar berkomunikasi lebih baik. Tapi, sebaiknya Anda mengembalikan kepercayaan pada dokter, karena untuk menyampaikan efek samping dan risiko pengobatan pada Anda diperlukan kebijaksanaan tersendiri dari dokter.

Tentang tanda tangan Fransiska yang dianggap palsu oleh Forensik, tidakkah para saksi sudah menyatakan bahwa mereka menyaksikan Fransiska menandatangani form persetujuan tindakan medis tersebut? Kalau ternyata tidak sama dengan yang tertera dalam KTP atau kartu ASKES yang bersangkutan, tidakkah perlu dipertimbangkan situasi kesakitan dan stres yang tengah dialami Fransiska? Saya saja ketika harus tanda tangan di perjanjian hutang piutang bisa jadi berbeda dengan tandatangan dalam KTP. Padahal saya tidak didera kesakitan. Tentang itu, saya pun tidak ada waktu itu. Dan saya pun bukan ahli menilai tanda tangan. Tapi, saya punya pendapat tentang itu berdasarkan nalar saya. Menurut Anda?

Masih di Jawa Pos.

"Penanganan oleh dr. Ayu cs juga dianggap sebagai penyebab meninggalnya Siska. Menurut pertimbangan majelis hakim, perbuatan mereka melakukan operasi terhadap Siska mengakibatkan timbulnya emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung."

Dalam Putusan Nomor 365 K/Pid/2012 tersebut keterangan para ahli.

dr.Hermanus Jakobus Lalenoh, Sp.An. menyatakan dalam kesaksiannya bahwa emboli udara adalah masuknya udara dalam pembuluh darah balik. Setiap pembuluh darah balik yang terbuka bisa memungkinkan terjadinya hal ini. Seperti pada pemasangan infus dan pemberian obat via suntikan. Di bidang kebidanan, peristiwa ini sering terjadi pada proses operasi Sectio Caesaria dan kuretase. Ketika plasenta terlepas dari rahim, maka saat itu pembuluh darah balik terbuka dan mungkin ada udara yang masuk ke dalamnya. Prof. Dr. Najoan Nan Warouw, Sp.OG. menyatakan kemungkinan bahwa Fransiska mengalami fibrilasi akibat emboli. Yang mana proses terjadinya emboli adalah seperti yang sudah tertera sebelumnya. Saksi ahli lain, dr. Robby Willar, Sp.A. mengatakan bahwa pada saat plasenta keluar, pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta tetapi tidak berpengaruh terhadap bayi karena sebelum plasenta dikeluarkan bayi sudah dipotong/ bayi lebih dulu keluar kemudian tali pusat/ plasenta dipotong. Sedangkan ahli forensik, Johannis F. Mallo, SH. Sp.F. DFM. Menyatakan bahwa infus dapat menyebabkan emboli udara tetapi kecil kemungkinan.

Terjemahan mudahnya, Fransiska Makatey meninggal karena emboli udara. Dan emboli udara itu terjadi karena Fransiska melahirkan. Plasenta terbuka karena dia melahirkan, kan? Tanpa operasi, tidakkah dia tetap melahirkan? Tapi, tidakkah dia memang datang untuk mendapat pertolongan lebih lanjut? Sebelumnya Fransiska telah menjalani perawatan di Puskesmas. Dia dirujuk ke RS karena bayinya tak kunjung lahir. Kalau bisa melahirkan normal tanpa operasi, semestinya Fransiska akan melahirkan di Puskesmas itu bukan? Ditentukan situasi cito di RS Kandouw karena si ibu dan bayi terancam nyawanya apabila bayi tidak segera dilahirkan. Pemasangan infus adalah bagian dari prosedur operasi. Kalau tidak dipasang infus, tentunya kemungkinan buruk yang mungkin terjadi dalam proses operasi tidak bisa diantisipasi. Pemasangan IV line adalah prosedur penting untuk stabilitas sirkulasi seseorang. Kalau tidak dipasang infus, bisakah Fransiska berangkat ke kamar operasi untuk melahirkan? Kalau tidak dilakukan SC pada Fransiska, apa tidak mungkin dia tetap meninggal bahkan lebih buruk beserta bayinya? Bukan malpraktik yang terjadi pada kasus ini. Itu adalah risiko tindakan.

Jika suatu kali anda membawa anak Anda yang sedang dalam kondisi dehidrasi akibat diare, mana yang Anda pilih. Menolak dipasang infus karena khawatir risiko emboli udara dan menyaksikannya pelan-pelan jatuh dalam dehidrasi berat, gagal ginjal akut, dan bahkan meninggal dalam penderitaan ataukah menempuh tindakan infus dengan risiko emboli udara yang sebenarnya jarang terjadi ini sehingga dapat segera dilakukan rehidrasi padanya? Dengarkan kata nurani Anda. Layakkah upaya penyelamatan yang dilakukan dr. Ayu dkk ini diganjar dengan bui?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun