Mohon tunggu...
Dwi Rizki Wulandari
Dwi Rizki Wulandari Mohon Tunggu... -

Seorang ibu dua anak. Seorang dokter. Asisten pengusaha

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Belajar dari dr. Ayu dan Dana BOS

22 November 2013   11:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:49 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tiga permasalahan sudah saya utarakan. Menurut saya, pemerintah adalah pihak yang tepat untuk menanggulangi ini. Dibutuhkan regulasi tersendiri tentang tarif dokter dan RS sehingga tidak ada dokter yang dilabeli raja tega ketika memberikan tarif diatas dokter lain. Sebaliknya, tidak ada dokter yang akan menjatuhkan citra sejawatnya walaupun dia memilih memasang tarif dibawah dokter lain. Ketika ada penerapan sistem semacam HET obat, pasien akan bisa mengukur sendiri kemampuannya dalam memilih dokter dan RS sehingga tidak lagi menaruh harapan tidak realistis setinggi hutang-hutang yang dibuatnya demi membayar jasa layanan dokter. Dokter sendiri, walaupun bidang keahliannya langka, tarif yang ditetapkannya pun bisa diukur sebelumnya oleh masyarakat. Walaupun terkadang orang sakit akan rela mengeluarkan uang berapa pun untuk sembuh, namun jika perkiraan biaya bisa diperoleh secara gamblang, pada akhirnya masyarakat tidak akan merasa dicurangi.

Dalam menetapkan kisaran tarif ini, pemerintah harus memperhatikan tuntutan para dokter untuk mendapat penghargaan yang layak atas kerjanya. Jikalau pemerintah ingin memberikan layanan menyeluruh pada segenap masyarakat Indonesia, maka seharusnya berangkat dari nilai rupiah terendah yang dianggap layak untuk penghidupan dokter dan pengembangan profesinya. Jika harga terendah itu masih saja tidak terjangkau oleh masyarakat ekonomi lemah, maka bantulah masyarakat dengan memberikan subsidi. Namun, penting kiranya untuk tidak hanya memberikan subsidi tapi juga disertai dengan informasi layaknya BOS yang diberikan pemerintah pada sekolah-sekolah.

Penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah oleh pemerintah kepada masyarakat melalui sekolah-sekolah, ditujukan untuk menjamin pendidikan yang menjadi hak setiap warga negara Indonesia. Proses penyerahannya disertai sosialisasi pada sekolah dan masyarakat yang diwakili oleh komite sekolah. Dengan adanya sosialisasi tersebut (selain iklan layanan masyarakat yang ditayangkan di televisi), masyarakat akan mengetahui biaya pendidikan yang diperlukan oleh sekolah untuk melangsungkan kegiatan pembelajaran. Jikalau dana bantuan ini telah mencukupi kebutuhan sekolah, maka siswa tidak perlu membayar lagi biaya sekolah. Namun, jika diperlukan biaya tambahan, karena besaran biaya ini diketahui asal usulnya, maka masyarakat akan senang hati membayarnya. Jikalau dana pendidikan sebuah sekolah bisa dipenuhi secara swadaya oleh masyarakat, maka sekolah tersebut tidak perlu menerima subsidi dana pemerintah. Namun, keadaan ini tidak bisa tercapai jika sekolah tidak membuka diri pada masyarakat. Masyarakat sendiri bisa menentukan pilihannya, menerima bantuan atau berupaya mandiri. Menurut saya, pelaksanaan sistem ini sudah berada di jalur yang benar walaupun kenyataannya memang belum seindah itu. Tapi seiring waktu, semestinya semua akan berada pada tempatnya dengan layak. Demikian pula harapan saya terhadap sistem kesehatan di negara ini.

Selain sistem pelayanan kesehatan yang masih perlu diperbaiki, sudah waktunya dokter sebagai penyedia jasa layanan kesehatan, semakin mawas diri dan meningkatkan kemampuan komunikasinya. Begitu pun dengan masyarakat. Telah tiba masanya masyarakat sebagai pengguna jasa layanan kesehatan untuk meningkatkan kepedulian pada dirinya sendiri. Walaupun RS telah menyediakan berbagai informasi prosedur layanan kesehatan, namun masih perlu dipikirkan cara kemudahan akses informasi tersebut diperoleh oleh pengguna jasa. Organisasi profesi pun harus berperan serta aktif bahkan sejak sebelum terjadi permasalahan sebagaimana kasus yang menimpa dr. Ayu dan kawan-kawan.

Begitulah, Kawan. Saya bukannya kehilangan semangat korps dokter. Tapi, kepedulian menyadarkan saya bahwa konflik ini tidak bisa selesai hanya dengan mengakomodir salah satu pihak. Ada pihak lain di seberang sana yang juga butuh didengar keluhannya. Mungkin usulan saya terdengar konyol. Tapi itu lahir dari pikiran seorang dokter yang kakinya berdiri di dua dunia, dunia dokter dan dunia awam. Saya yang bodoh ini hanya mengharapkan kebaikan bagi semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun