Aslinya dari daratan China, dalam dialek Hokien disebut sien chau, dalam pinyin Mandarin disebut xian cao. Peranakan Tionghua ditanah air, juga disemenanjung jiran ini, menyebutnya cincau. Jeli hijau atau kadang kehitaman ini, adalah sari tumbuhan genus Mesona. Sampai Banjarnegarak (sesuai pengucapan Si Mas penjual, akhiran “a” nya disertai “k” ringan) cincau ini tertulis camcau, namun dibunyikan camcao (oleh si Mas penjual ini lagi).. kenapa tidak konsisten, gini tho Mas ? Bila di Sumatra, juga dibeberapa tempat di semenanjung jiran ini, “macam mana” dapat disingkat jadi cemane atau camano, tak perlulah dipersoalkan lebih lanjut, cincau jadi camcao. Yang penting rasanya, Bung.. luwar biyasa bangeth. Pertamax, sirup gula kelapa murni, yang mewakili peraduan rasa manis, semi asam dan gurih, inilah yang membuatnya juara. Tiada tertandingi oleh rasa gula lainnya, atau pemanis rasa manapun. Gula kelapa ini biasanya ditemui dalam bentuk cetakan sepertiga bola batoknya. Bukan bentuk silinder bambu seperti cetakan gula merah aren lainnya. Kedua, camcao hijaunya, benar terasa kloropil nya, pasti fresh diperas tadi malam, dari daun Cylea barbata Myers yang tumbuh menjalar. Pada bulan ramadhan, para asisten Ibundaku dulu, sering membuat camcao fresh seperti ini. Jadi, tak perlulah diragukan kemampuan lidah ini menyortir : mana camcao fresh murni, dan mana pula camcao aspal‘asli-palsu’ yang penuh campuran pengawet, pewarna dan tambahan agar-agar. Ketiga, air santan kelapanya. Legit gurih segar baunya. Selayak baru diperas dari parutan daging buahnya. Amboi tak terperikan rasanya. Jauh dari bau tengik, asem, atau bau aluminium foil, atau plastik, yang tidak saja - langsung merusak kenikmatan rasa - namun juga dipercayai membahayakan organ tubuh luar dalam. Ke-empat, pelengkap penyertanya : dawet atau cendol. Murni dari tepung beras, bukan dari tepung hun kwe atau terigu atau tepung lainnya. Juga wangi daun pandan dicampur daun suji sebagai pewarna hijau nya. Bukan sumba tiruan pewarna kain. Dan terakhir, biji mutiara warna merah jambu, berenang riang diatasnya. Matang sempurna pemasakannya. Tidak keras mentah bagian tengahnya. Tidak pula overdone mblenyek penampilannya. Tuhan, terimakasih. Dalam terik siang menyiksa ini, Kau perkenankan kutemui sorga dunia ini lagi. Dalam segelas camcao, dan hanya dua-ribu rupiah saja bandrolnya. Biarpun puluhan temen ditanah air selalu mengingatkan, hati-hati jajan kakilima sekarang. Es batunya dicampur borax. Air cucian gelas nya nyiduk dari comberan, tidak pernah diganti, dan berbagai peringatan horror lainnya.. Alhamdulillah, Puji Tuhan, sampai saat ini baik-baik aja. Mungkin bakteri dalam lambung dan usus ini sudah lama kebal berteman dengan virus atau bakteri yang ditakutkan men-temen. Jadi, kalau mereka ketemu lagi sekarang, berasa reunian kopdar aja. Lokasi : kakilima Mesjid Syuhada, Jogja. 21 Oct 2011. text & foto : Kiki Isbianto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H