Karaeng Pattingalloang (1600-1654), memiliki nama lengkap:Â I Mangangada'-cina I Daeng I Ba'le Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud Tumenanga ri Bontobiraeng.
Karaeng Pattingalloang adalah tokoh intelektual besar abad ke-17 dari Nusantara yang memiliki banyak kelebihan. Dia adalah seorang Filsuf, Poliglot, ilmuwan yang menaruh minat pada bidang matematika, geografi, astronomi, dan ilmu Optik, dan sekaligus seorang Raja.
Sebagai putra dari Raja Tallo VII Karaeng Matowaya (1573-1636), pada tahun usia 39 tahun, Karaeng Pattingalloang terangkat menjadi Raja Tallo, sekaligus menjabat sebagai Perdana Menteri Kesultanan Gowa mendampingi Sultan Malikussaid (1639-1659).
Sebagai seorang yang mencintai ilmu pengetahuan, Karaeng Pattingalloang memiliki koleksi buku di perpustakaannya yang mengagumkan dalam pandangan orang-orang Eropa.
Domingo Fernandes, seorang pastor dari Spanyol pernah terkagum-kagum ketika tinggal di Makassar pada rentang waktu 1657-1658. Kekagumannya ini karena melihat koleksi perpustakaan besar Pattingalloang yang dilengkapi dengan jam lonceng yang bagus.
Misionaris Katolik, Alexander de Rhodes, yang bertemu Pattingalloang di Makassar pada tahun 1646, mengatakan: "Dia memiliki gairah pada semua cabang ilmu."
"Karaeng Pattingalloang sangat bijaksana dan mengetahui semua misteri kita. [karena] Dia membaca semua kronik raja-raja di Eropa." kata Rhodes.
"Di tangannya selalu ada buku-buku kita [orang-orang Eropa], terutama mengenai ilmu pasti. Setiap kali kita mengajak dia berbicara tentang agama, dia selalu mengalihkan topik pembicaraan pada soal pengetahuan. Dia minta untuk diajarkan semua rahasia ilmu pengetahuan kita," ungkap Rhodes (Reid, 2004).
Memesan Peralatan Riset ke Eropa
Untuk memenuhi rasa keingintahuannya yang besar dalam ilmu pengetahuan, Karaeng Pattingalloang tercatat dalam literatur pernah memesan berbagai perlengkapan, seperti:
- Dua bola dunia yang kelilingya 157 hingga 160 inci, terbuat dari kayu dan tembaga, untuk dapat menentukan letak Kutub Utara dan Kutub Selatan;
- Sebuah peta dunia yang besar, dengan keterangan dalam bahasa Spanyol, Portugis atau Latin;
- Sebuah atlas yang melukiskan seluruh dunia dan dengan peta-peta yang keterangannya ditulis dalam bahasa Latin, Spanyol atau Portugis;
- Dua teropong berkualitas terbaik, dengan tabung logam yang ringan, dan sebuah suryakanta yang besar dan bagus;Â
- dua belas prisma segitiga yang memungkinkan untuk mendekomposisi cahaya;
- Tiga sampai empat puluh buah tongkat baja kecil;Â
- sebuah bola dari tembaga atau dari baja.
Pesanan itu dikirim ke Negeri Belanda, dengan kapal yang berangkat pada bulan Desember 1644. Namun, baru pada tanggal 15 Februari 1648, "benda-benda" langka yang pertama akhirnya tiba di Makassar.
Adapun bola dunia yang Joan Blaeu (seorang kartografer termasyhur Belanda) kerjakan sendiri, baru tiba di tahun 1651.
Menurut J. Keuning, yang berhasil menelusuri catatan pengiriman, bola dunia itu adalah yang terbesar yang pernah terealisasi pembuatannya di bengkel kerja kartografer yang termasyhur itu.
Karaeng Pattingalloang memberi sebelas bahar kayu cendana seharga 660 real sebagai uang muka untuk seluruh pesanan itu. (Sumber di sini)
Puisi Joost van den Vondel Untuk Karaeng Pattingalloang
Penyair terbesar Belanda abad itu, Joost van den Vondel, menulis beberapa lirik syair khusus yang dikirimkan kepada Karaeng Pattingalloang, menyertai kedatangan bola dunia raksasa.Â
Berikut ini sajak yang dibuat oleh Joost van den Vondel (Lombard, 2005 -- lihat di sini):
Dien Aardkloot zend't Oostindische huis (Bola dunia itu, Perusahaan Hindia Timur)
Den grooten Pantagoule t'huis, (Mengirimkannya ke rumah Pattingaloang agung)
Wiens aldoorsnuffelende brein, (Yang otaknya menyelidik ke mana-mana)
Een gansche wereld valt te klein, (Menganggap dunia seutuhnya terlalu kecil)
Men wensche dat zijn scepter wass', (Kami berharap tongkat kekuasannya memanjang)
Bereyke d'eene en d'andere as, (Dan mencapai kutub yang satu dan yang lain)
En eer het slyten van de tyd (Agar keusuran waktu hanya melenyapkan)
Dit koper dan ons vriendschap slyt (Tembaga itu, bukan persahabatan kita).
Dalam hal sastra dan pemikiran filsafat, Pattingalloang juga dikenal menghasilkan karya monumental, seperti nasihatnya mengenai kehidupan bernegara, salah satunya adalah mengenai lima sebab hancurnya sebuah negara besar, yaitu:
- Bila raja tidak mau lagi dinasehati
- Bila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri
- Bila terlalu banyak hakim dan pejabat suka makan sogok
- Bila terlalu banyak masalah dalam negeri
- Bila raja tidak lagi menyayangi rakyatnya
Begitu diseganinya pemikiran dan kebijaksanaan Karaeng Pattingalloang, Sultan Malikussaid, dalam catatan lontara Gowa, mengatakan bahwa: "Aku hanya mau menjadi raja Gowa jika Tumenanga ri Bontobiraeng [Pattingalloang] mendampingi saya memerintah, dan bila dia juga memimpin semua rakyat banyak" (Wolhoff & Abdurrahim, 1956). Â Â
Sebagai Seorang Poliglot
Pergaulan yang luas membuat Karaeng Pattingalloang dapat menguasai beberapa bahasa. Rhodes bahkan mengatakan bahwa jika tidak melihat sosoknya, Pattingalloang pasti akan dikira orang Portugis.
Selain Portugis, Karaeng Pattingalloang juga diketahui mampu berbahasa Spanyol dan Latin. Menguasai bahasa terakhir ini adalah modal yang sangat penting dalam mempelajari ilmu pengetahuan klasik Eropa.
Dengan kemampuan bahasa ini, Pattingalloang dapat berkorespodensi dengan orang-orang Eropa. Kemampuan penguasaan bahasa ini, diketahui, juga diwarisi putranya, Karaeng Karunrung, yang kelak mendampingi Sultan Hasanuddin.
Karaeng Pattingalloang Sebagai Muslim Yang Taat
Rhodes menyebut bahwa, selain menguasai dengan baik jalur perdagangan maritim, Karaeng Pattingalloang juga memiliki pengetahuan yang luas mengenai silsilah raja-raja Eropa.
Dalam pemikiran orang-orang Eropa, terutama para misionaris yang datang ke Makassar pada masa itu, karena ia mencintai ilmu pengetahuan dan memiliki pemikiran yang tebuka tentang dunia Barat, maka, Karaeng Pattingalloang, akan mudah untuk dikristenkan.
Ternyata, pemikiran itu keluar. Rhodes yang berusaha mengkristenkan Pattingalloang mendapati usahanya hanya sia-sia.
Sejarah mencatat, Karaeng Matoaya (ayah dari Karaeng Pattingalloang) adalah raja Tallo pertama yang memeluk agama Islam, yang dilakukannya bersama keluarganya pada 22 September 1605.
Di bawah pimpinan Karaeng Matoaya dan Sultan Alauddin, Makassar yang telah memeluk Islam, melakukan kampanye penyebaran Islam. Antara 1608 hingga 1611, semua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yang berada bagian sebelah selatan dataran tinggi Toraja telah diperangi atau dibujuk, hingga kesemuanya memeluk Islam.
Sebagai seorang orang yang taat dalam beragama Islam, Karaeng Matoaya juga diketahui memiliki ketertarikan intelektual atas berbagai hal, seperti teologi dan ilmu pengetahuan. Minat ini yang juga mengalir deras pada sosok anaknya, Karaeng Pattingalloang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H