Kelakuan anak pembully itu lucu. Tentu saja, itu kalau kamu bukan korban atau sasaran bully. Tapi kalau kamu yang jadi sasaran, rasanya kamu ingin ‘menghajar’ atau ‘menghabisi’ si pelaku, atau sebaliknya justru kamu ingin mati saja karena merasa terhina, tak berdaya, dan mampu melawan si pelaku yang pastinya lebih superior. Biasanya lebih besar badannya (secara fisik), lebih berani (dalam pengertian suka kekerasan) dan juga lebih pandai bicara (dalam pengertian mudah mengucapkan kata-kata kotor atau buruk).
***
Sewaktu saya sekolah, saya tahu selalu ada anak yang nakal atau bahkan ‘jahat’ yang suka mengancam, mmenakut-nakuti, dan merampas barang anak lain. Saya bukan lah termasuk anak yang menjadi target dari ancaman, hinaan atau olok-olok anak semacam itu. Tapi ada anak-anak yang profilnya merupakan sasaran empuk dari anak berandal. Anak perempuan jelas juga merupakan sasaran empuk bagi anak lelaki berandal itu dengan cara berbicara kotor atau bertidak kurang ajar.
Anak-anak saya keduanya laki-laki, berwatak halus dan manis. Terkadang ada anak pengancam yang merajai kelas atau sekolah dan mungkin saja anak-anak saya menjadi sasaran. Karena itu saya mengajak mereka membicarakan anak pengancam seperti itu.
Syukurlah anak saya bukan target sasaran, tapi pertanyaan saya kepada anak-anak saya adalah: Apa yang kamu lakukan bila ada anak yang mengancam anak lain yang lemah di depan mata kepala kamu?
Saya sangat bersyukur bahwa anak sulung saya punya keberanian untuk menegur. Juga punya cara yang cukup diplomatis sehingga anak berandal itu bisa ketawa ketimbang kesinggung ketika ditegur untuk tidak mengganggu orang. Tentu seorang anak butuh ‘power’ untuk bisa disegani anak pengancam. ‘Power’ itu adalah dengan menunjukkan sikap berani dan percaya diri.
Waduh, anak saya ini sebenarnya pendiam dan pemalu. Pengalaman ini kemudian memotivasi anak saya itu untuk belajar bela diri. Sebab keberanian juga memerlukan kemampuan bela diri bila diperlukan. Suatu hari anak saya menelpon saya bahwa si anak brengsek itu memancing dia untuk berkelahi dan sudah terlalu banyak anak lemah yang menjadi korban, maksud telepon dari anak saya adalah meminta ijin untuk melawan (berkelahi).
Kenapa harus minta ijin? Karena peraturan di sekolah anak saya bahwa anak yang memukul (kalau berkelahi pasti harus memukul) akan dikeluarkan dari sekolah. Saya terpana tapi kemudian memberi ijin anak saya membuat keputusan sendiri.
Apa yang terjadi kemudian? Anak saya dilaporkan melakukan ancaman oleh si berandal kepada walikelas. Tentu saja seluruh guru dan murid tidak ada yang percaya. Anak saya berhasil menaklukkan si anak berndal tanpa harus berkelahi.
Syukurlah saya dan anak-anak selalu bisa mengobrol dan tukar pikiran sehingga peristiwa penting apa pun anak saya selalu curhat dengan orang tua. Bukan hanya dengan teman sebaya yang mungkin member nasihat yang keliru.
***
Sekarang saya mengenal istilah bullying yang ramai dibicarakan terkait dengan adanya teknologi internet yaitu cyberbullying. Tentu saja ancaman, intimidasi, olok-olok dan hinaan secara langsung pun merupakan bullying yang berbahaya terhadap mental si anak yang menjadi sasaran. Namun cyberbullying menjadi menakutkan karena persebarannya yang begitu mudah via media jejaring sosial. Pelakunya pun bisa bersembunyi dengan nama samaran dan identitas palsu.
Saya merasa harus membicarakan lagi dengan anak-anak saya mengenai cyberbullying ini. Bullying sendiri artinya ancaman, pemaksaan, kekerasan fisik maupun verbal yang dilakukan berulang-ulang untuk memaksakan kekuatannya terhadap orang lain.Kalau sebuah negara sudah memiliki hukum mengenai cyberbullying, pengertian akan dirumuskan dalam ketentuan hukumnya.
Kamu mengerti istilah ‘bullying”? Tanya saya kepada anak-anak saya. Tentu saja anak-anak akrab dengan istilah itu karena mereka gemar dengan “bullying games”. Kelakuan anak berandal dalam permainan itu itu sangat lucu bagi anak-anak. Padahal jelas kurang ajar dan jahatnya tidak ketulungan. Kalau di dunia nyata, tidak mungkin lah ada anak pembully seperti itu, kata anak saya yang bungsu (kelas 6 SD).
Apakah ada anak yang suka membuly di kelas atau sekolah kamu? Tanya saya. Tidak ada lah, ada juga hanya bercanda biasa saja…. Jawab anak saya.
Pertanyaan yang sama saya lontarkan kepada anak saya yang sulung (kelas 2 SMA). Anak saya itu menjawab bahwa kakak kelas yang jaim sih banyak, tapi kalau sampai membuly sih tidak ada….
Begitu juga cyberbullying belum pernah terjadi kasus di sekolah anak saya. Yah, syukurlah.
***
Menonton film ini membuat saya teringat masa sekolah dulu. Ada anak-anak yang menjadi sasaran bully dan semua anak tertawa. Anak itu gemuk seperti teddy bear. Atau kurus seperti Olive-nya Popeye the Sailor Man. Atau anak yang suka grogi. Tapi target akan semakin meningkat bila si pelaku bully merasa semakin hebat dan bangga karena ditakuti.
Selalu ada orang yang memulai membully anak-anak lain. Merasa having fun dengan menjadikan orang lain lelucon atau bahan tertawaan. Kekejaman yang tidak disadari bahwa itu mungkin melukai sasaran sampai akhir hayatnya. Memang perilaku bully itu lucu dan fun, tapi kiamat hidup ini rasanya kalau Anda yang menjadi sasaran.
Apa yang ditampilkan dalam film ini sebenarnya bully yang cenderung dianggap biasa saja oleh orang dewasa. Namanya juga anak-anak, suka bertengkar…. Mungkin begitu pemikiran orang dewasa. Pelaku bully pun tidak mengira bahwa perbuatannya sejahat itu.
Ketika anak mengadukan perlakuan bully terhadap dirinya, cenderung orang tua menyalahkan anak sendiri sebagai terlalu sensitif atau terlalu cengeng. Bahkan menekan anaknya untuk berani melawan atau membiarkan saja. Sangat berbahaya kalau anak merasa sendiri. Atau membenarkan apa yang dikatakan si pembully bahwa dirinya anak pecundang dan pengecut karena orang tuanya pun mengatakan begitu. Lawan dong, kamu ini jadi anak kok penakut amat…. Begitu justru tanggapan orang tuanya.
Padahal tidak semua anak pemberani dan kita tetap harus membela anak kita. Kalau di Negara Barat, terutama Amerika, cyberbullying ini sudah ada hukumnya. Film ini merupakan sebuah kampanye anti cyberbullying yang dianggap berbahaya sehingga membutuhkan kesadaran para orang tua dan masyarakat untuk mencegahnya dan mampu mengatasinya,
***
Semoga anak kita tidak menjadi pelaku bully, apalagi menjadi tabiat sampai tua. Hiyyy seram banget, apalagi kalau jadi orang pengecut pelaku cyberbullying.
Begitu juga semoga tidak menjadi sasaran bully dan celakanya tidak disadari sehingga tumbuh berkembang dengan perasaan tidak percaya diri karena sering mendapat hinaan dan olok-olok dari temannya.
Anak kita tidak boleh dibully siapa pun, begitu juga anak orang lain. Watak masyarakat kita cenderung membiarkan bully sebagai main-main saja, apalagi kalau dilakukan oleh kakak kepada adik dan orang dewasa kepada anak-anak di dalam keluarga. Jangan sampai terjadi.
Sebagai orang tua, kita harus menyiapkan anak-anak dalam menghadapi perilaku bully…..
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H