Mohon tunggu...
Ambu Ria Djohani
Ambu Ria Djohani Mohon Tunggu... lainnya -

Orang Sunda pituin. Cinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama FEATURED

BPJS Kesehatan Itu Bukan Gratis, Dok!

18 Juli 2014   19:16 Diperbarui: 30 Oktober 2019   15:33 1658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertinya citra program pemerintah itu adalah  ‘gratis’ dan karenanya ‘harap janganlah terlalu banyak menuntut karena itu pemberian dan berterimakasihlah”. Inilah konsepsi yang keliru tentang pemerintah. 

Seolah pemerintah itu dermawan bila menyelenggarakan program. Padahal itu adalah tugas dan kewajibannya. Wong PNS itu digaji memang untuk bekerja pelayanan publik. 

Dana program sebagian besar berasal dari pajak dan retribusi masyarakat. Sebagian dari pendapatan yang dihasilkan oleh usaha-usaha pemerintah lain.  Hutang-hutang luar negeri pemerintah pun sama saja dengan beban rakyat Indonesia kok.

Pemerintah punya keterbatasan dana karena pajak yang dibayarkan masyarakat tidak seimbang dengan kebutuhan anggaran program. Atau karena terlalu banyak dikorupsi? Hahahaha.  Karena itu Program BPJS Kesehatan yang digelontorkan pemerintah pun masih menarik bayaran masyarakat.

Ini seperti masyarakat bergotong-royong mengumpulkan dana untuk membiayai orang yang sakit. Jadi, ketika ada yang sakit dan harus berobat, itu bukanlah gratis. Masyarakat bergotong-royong membayari orang sakit. Yang sehat tetap membayar iuran setiap bulan, dan uang tersebut hangus. Tetapi kita terjamin, bila suatu saat sakit.

***

Saya baru mengurus pembuatan kartu BPJS Kesehatan pada awal Juli 2014 ini. Ternyata masih tetap mengantri.  Loket dibuka jam 07.00. orang sudah mengantri sejak subuh. Ya, ampun.

Saya pun menitipkan antrian dan pengurusan formulir kepada seorang ibu dengan bayaran Rp 100 ribu. Jam 10.00 saya sudah bisa datang untuk mengambil kartu BPJS.

Saya menyapa seorang ibu muda yang sedang mengurus kartu bersama suami dan kedua anaknya yang masih kecil. 

Ternyata mereka hanya membuat dua kartu untuk suami dan anak sulung saja. Sedang ibu dan anak yang terkecil tidak. “Kenapa tidak empat-empatnya?” Tanya saya. “Waduh, terlalu berat bayarnya,” Kata si ibu. “Biar saja yang penting si Bapak aja…

Ada tiga kelas. Kelas pertama membayar Rp 59.500 per bulan per orang. Kelas kedua Rp 49.500. Sedangkan kelas ketiga Rp 25.000. Si ibu itu membuat kartu BPJS kelas ketiga untuk suami dan anak sulungnya itu.

Saya juga mendengar ibu-ibu yang berkata dengan suara keras “Ohhh, BPJS itu ternyata bayar. Bukan gratis….” Ibu itu kemudian pergi, batal membuat kartu BPJS.

Jadi, banyak yang mengira BPJS Kesehatan itu hanya untuk warga miskin. Gratis itu kan biasanya untuk orang miskin atau tak mampu. Padahal BPJS Kesehatan itu untuk seluruh warga negara Indonesia. 

Warga yang sudah memiliki asuransi swasta pun wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan. Bahkan orang asing yang menetap di Indonesia lebih dari 6 bulan wajib memiliki kartu BPJS.

Pemilik kartu Askes dari kalangan PNS dan Jamsostek dari kalangan swasta, otomatis menjadi anggota BPJS Kesehatan. Begitu juga pemilik kartu Jamkesmas/da yang merupakan program kesehatan gratis untuk orang miskin otomatis menjadi anggota BPJS Kesehatan.

***

Sesudah kartu BPJS itu ada di kantong, paling tidak saya tidak terlalu merasa terancam lagi soal pembiayaan yang mencekik leher apabila harus masuk rumah sakit. Tentunya kita tidak ingin sakit.  

Tapi yang namanya sakit kan bukan kita yang sepenuhnya memilih. Buktinya demam berdarah memilih anak-anak saya untuk terkena meski saya merasa sebagai orang yang pembersih baik urusan sampah maupun rumah. Para tetangga pun mengatakan bahwa rumah saya itu bersih sekali.

Tapi, apakah betul dengan kartu BPJS Kesehatan kita sudah memperoleh jaminan kesehatan?

Setiap kali saya ke rumah sakit, saya selalu ditanya di loket “Umum atau BPJS?” Kalau saya menjawab BPJS, maka loket akan berbeda. Baik untuk mendaftar, membayar, bahkan mengambil obat di apotik pun dibedakan antara “umum” dan “BPJS”.

Seorang ibu di rumah sakit mengatakan pada saya: “Perbedaan perlakuan itu begini, pasien yang diutamakan itu yang umum, baru kemudian pasien BPJS, sesudah itu pasien Askes, baru pasien Jamkesmas.

Ibu itu tidak lengkap. Sebenarnya ada jenis pasien lain, yaitu pasien swasta (nampaknya yang dimaksud bukan karyawan perusahaan swasta, tapi pemilik asuransi dari perusahaan swasta?). 

Ada 3 jenis loket di Rumah Sakit yang biasa saya gunakan, yaitu umum, asuransi swasta, dan BPJS. Sesungguhnya pemilik kartu Askes dan kartu Jamkesmas/da itu termasuk BPJS. Tapi maksud si ibu, ada perbedaan perlakuan terhadap pasien umum dan asuransi swasta yang dianggap membayar. 

Sedangkan pasien BPJS atau seluruh program pemerintah dianggap pasien gratis. Di antara pasien gratis, lebih dihargai pemilik kartu BPJS. Meskipun sebenarnya pemilik kartu Askes dan Jamkesmas/da itu sekarang menjadi BPJS juga.

Saya belum pernah menggunakan kartu BPJS saya. Tapi saya melihat bagaimana orang lain menggunakannya di rumah sakit tempat anak saya di-opname.

Memang benar, petugas kesehatan maupun non-kesehatan, termasuk dokter, menyebutkan kata gratis untuk menyatakan bahwa BPJS itu sebagai pelayanan kesehatan gratis yang dibayari pemerintah. 

Pasien yang memiliki kartu Askes masih diperlakukan sama seperti  “dulu”  (sebelum Askes beralih menjadi BPJS), yaitu disodori ucapan bernada peringatan “Biaya yang ditanggung BPJS itu paling hanya plafon saja, paling hanya sekitar Rp3 juta….” kata petugas.  

Keluarga pasien itu kelihatan sangat terpukul, setiap hari harus berbelanja alat kesehatan dan obat senilai hampir Rp 2 juta padahal pasien stroke tersebut sudah hampir seminggu dirawat. 

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mendapatkan uang sebanyak ini dan sampai kapan…” Kata adik sang pasien yang menunggui dan membantu keperluan-keperluan itu. Hutang-hutang ke mana lagi, dan dibayar dengan apa. Nampaknya itu yang melanda benak keluarga pasien itu.

Saya heran karena membaca buku Panduan BPJS Kesehatan disebutkan bahwa seluruh biaya ditanggung kecuali hal-hal di luar ketentuan karena keinginan (keluarga) pasien sendiri.

Dokter pun sama seperti petugas lain mengatakan bahwa obat ini yang gratis, obat itu harus beli sendiri. Sangat mengherankan bahwa perlakuan dokter, perawat, dan rumah sakit masih seperti itu. 

Bahkan resep pun masih harus dibeli keluarga pasien sendiri. Saya melihat pasien itu ‘belanja’ ke apotik setiap hari, sehari 3-4 kali belanja. Saya pun harus belanja ke apotik dan kresek belanjaan saya besar sekali karena saya harus membeli sampai 10 labu cairan infus.

Seorang pasien klinik gigi mengatakan bahwa sedang memasang gigi palsu dengan menggunakan kartu BPJS. Ada 6 gigi yang diperlukan dan biayanya sekitar Rp 450 ribu. Saya terkejut karena pemasangan gigi saya di klinik itu jauh lebih mahal, sekitar 5x lipat. Pembayaran tunai.

Pertanyaannya: Apakah kualitas giginya sama atau berbeda ya?

***

Rupanya masih banyak masyarakat yang belum mengerti apa itu BPJS Kesehatan. Apa hak dan kewajiban mereka.

Sebaliknya, pihak dokter, perawat, petugas non-medik, dan rumah sakit secara keseluruhan pun menganggap BPJS Kesehatan itu sebagai pelayanan kesehatan gratis. 

Apakah tidak terpikir dalam benak mereka bahwa mereka tetap dibayar dalam memberikan pelayanan kesehatannya oleh pasien yang sumber dananya berasal dari iuran gotong-royong masyarakat se-Indonesia karena seluruh warga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan? Ataukah bayaran dari BPJS Kesehatan ini memang murah ketimbang harga umum?

Bayangkan berapa dana yang terhimpun setiap bulan dan tahunnya bila sekitar 200 juta penduduk Indonesia menjadi peserta BPJS Kesehatan. Ini tentunya di luar penduduk miskin yang tidak membayar iuran jalur Jamkesmas/da. 

Apakah harga yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan itu kepada pemberi layanan kesehatan sama seperti harga yang berlaku umum, itulah yang warga pembayar iuran BPJS berhak tahu.

Saya rasa hak warga untuk mengetahui bagaimana dana yang terhimpun itu digunakan untuk membayar layanan kesehatan.  Sebab, perlakuan dokter, perawat, dan petugas rumah sakit  kepada pasien BPJS itu ditentukan oleh bagaimana pembayaran dilakukan. 

Kalau harga terlalu rendah, bagaimana mendapat pelayanan yang sama dengan pasien umum dan asuransi swasta? Apakah itu yang menyebabkan perlakuan yang berbeda seperti ungkapan si ibu berdasar pengalaman dan pengamatannya di lapangan?

Dokter, pasien BPJS itu bayar bukan gratis….” Saya akan mengatakan itu kepada dokter dan perawat yang bertanya: “Ini bayar ya? Ya, memang itu pertanyaan yang lumrah dari mereka ketika saya sedang berobat. 

Saya percaya ini bukan pertanyaan diskriminatif, hanya sekedar mengecek sesuai jalurnya. Semoga tidak ada perbedaan dalam pilihan dan kualitas pelayanan bila bayar dengan gratis.

Namanya sakit, yang diperlukan bukan pelayanan kelas VIP, I, II, atau III, melainkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan agar kita kembali sehat. Di buku Panduan BPJS Kesehatan saya membaca bahwa perbedaan kelas itu hanya untuk akomodasi (kamar dan fasilitasnya) sedangkan dokter, obat dan alat kesehatan (alkes) tidak berbeda. Semoga saja di lapangan sesuai dengan itu.

BPJS Kesehatan ini bagaikan ‘malaikat penolong’ dalam menghadapi ‘monster sakit’ yang mengancam kehidupan kita, fisik dan mental, moril maupun materiil. Tapi lain yang saya baca dengan praktek yang saya lihat di lapangan. 

Nampaknya harus ada Komite Pemantauan BPJS Kesehatan dari kalangan masyarakat. Bukan cuma Dewan Pengawas yang merupakan bagian dari pengurus BPJS saja. Pengawasan dari masyarakat pun perlu.

Pengawasan ini ditujukan juga untuk membela pihak BPJS dan penyedia layanan kesehatan juga bila ada 'masyarakat pasien yang terlalu banyak menuntut' seperti yang dikeluhkan seorang dokter tentang penerapan dokter. 

Nadanya seperti 'sudah gratis, banyak maunya lagi....' Ini karena masyarakat/pasien juga tidak tahu ketentuan praktis layanan apa saja yang berhak diterimanya bila menghadapi suatu kasus berobat. 

Saya kira ini perlu juga jadi pengetahuan masyarakat agar bisa memahami rambu-rambunya. Tapi, saya yakin bukanlah seperti yang dipraktekkan di Rumah Sakit di atas bahwa "Ini resep obat dan alkes yang harus Anda bayar sendiri karena tidak ada di daftar BPJS...." Saya baca berulang-ulang Panduan BPJS Kesehatan, dinyatakan di situ bahwa pasien mendapatkan semua pelayanan yang dibutuhkan tanpa harus membayar. 

Sekali lagi, itu bukan gratis, dokter....  Kami membayar pelayanan itu melalui BPJS Kesehatan secara bergotong royong setiap bulan, setiap orang, dalam keluarga. 

***

Bila ingin membaca buku panduan BPJS, silakan ambil di sini. Atau di sini.  

Sedangkan regulasinya silakan baca UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS dan Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang diamandemen dengan Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Perpres No.20 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Sementara regulasi payungnya adalah UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun