Mohon tunggu...
Ambu Ria Djohani
Ambu Ria Djohani Mohon Tunggu... lainnya -

Orang Sunda pituin. Cinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Catatan Pengalaman Mengikuti Ajang PPDB

19 Juli 2014   21:15 Diperbarui: 4 April 2017   16:45 2252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) bulan Juli 2014 baru saja berlalu. PPDB itu ibarat ajang Pilpres 2014 yang suasananya panas. Kekecewaan, kemarahan, kesedihan para ortu yang anaknya gagal selalu mewarnai ajang PPDB ini. Saya sampai miris membaca ucapan-ucapan di Forum Tanya yang terdapat di web PPDB.

Bersaing/berebut bangku sekolah negeri yang favorit karena bergengsi atau bangku sekolah negeri mana pun asal lolos karena murah, menimbulkan suasana yang menegangkan. Yah, namanya juga bersaing. Ada yang lolos dan ada yang tidak. Jumlah penduduk Kota Bandung kan semakin banyak, sementara kapasitas sekolah sulit bertambah dengan keterbatasan lahan dan tempat.

Orang tua dan anak menjadi stress setiap kali mau masuk ke sekolah jenjang yang lebih tinggi. Kalau punya anak yang pintar atau soal biaya tidak menjadi masalah, mungkin tidak terlalu pusing. Tapi punya anak yang kemampuan akademiknya sedang atau rendah nilai-nilainya, sementara kemampuan finansial juga terbatas, inilah yang membuat pusing.

Buat masyarakat kebanyakan, masuk sekolah negeri favorit itu merupakan prestise yang melebihi sekolah swasta elite sekali pun. Kenapa? Karena murid-murid terpintar itu ikut seleksi PPDB dalam rangka masuk sekolah negeri favorit, barulah kalau tidak lulus memilih sekolah swasta. Siapa orang tua yang tidak khawatir anaknya tidak masuk sekolah terbaik?

Beda dengan jaman saya sekolah dulu, ortu lebih menyerahkan kepada guru/sekolah dalam membimbing anak menentukan pilihan sekolah lanjutan. Orang tua jaman sekarang ingin memilih sendiri sekolah terbaik untuk anaknya, sedangkan guru/sekolah hanya memberikan saran dan masukan kepada ortu. Makanya sekarang, ortu yang bekerja harus menyisihkan waktu cuti dalam rangka mengurus PPDB anaknya. Masuk ke ajang seleksi PPDB itu malah seperti para ortu yang bertanding, terutama untuk masuk SD dan SMP. Kalau masuk SMA sih biasanya anak sudah agak mandiri dalam terjun sendiri ke ajang seleksi meskipun lebih baik didampingi.

Saya sudah 2 menghadapi seleksi PPDB untuk kedua anak saya, termasuk yang baru saja berlalu Juli 2014 ini. Berikut ini sekedar catatan berbagi pengalaman saja dalam memilih dan mendaftarkan anak sekolah. Kalau lulus PPDB ya Alhamdulillah, kalau tidak lulus ya harus cari sekolah swasta.

***

Mengenalkan Pilihan Sekolah Sejak SD

Memang sekarang disebut PPDB, tapi bisa saja istilahnya berubah ketika kebijakan pendidikan berubah. Karena itu saya pergunakan istilah ‘memilih sekolah’ sebagai padanan mengikuti PPDB. Mengikuti PPDB itu kan artinya memilih sekolah.

Sebagai orang tua, coba periksa apakah anak kita yang masih di Sekolah Dasar (SD) sudah mengetahui peta sekolah tahap berikutnya (SMP) baik dari segi reputasinya maupun mutunya. Barangkali obrolan ini baik dimulai pada kelas 4 atau 5 SD agar anak-anak sudah memiliki tujuan atau orientasi pilihan sekolah. Anak saya ketika pertama kali ditanya mau ke sekolah mana ya jawabnya ngawur. Nilai akademiknya jauh sekali dari sekolah yang disebutnya. Tapi ya tidak apa, namanya anak mau sekolah keren tapi belum paham. Disangka tidak pakai kompetisi apa.

Karena itu anak harus diajak punya tujuan.

Tujuan apa? Apakah ingin ke sekolah yang paling top, sedang/biasa, atau disesuaikan saja dengan kemampuan akademiknya asalkan lulus ke negeri agar meringankan orang tua? Apakah siap kerja keras ikut bimbel intensif supaya masuk ke sekolah top tadi? Kalau santai, belajarnya lebih sebentar dibanding main games online mosok mau masuk ke sekolah negeri top?

Obrolan ini disesuaikan dengan kemampuan dan orientasi orang tua dan juga anak. Keluarga yang mampu/kaya mungkin memberikan arahan seperti teman saya ini: “Kamu belajar keras dong supaya bisa masuk ke SMPN 2 atau SMPN 5 (dua sekolah negeri paling top di Bandung). Kalau tidak masuk ke sekolah ini, lebih baik ke swasta saja (menyebutkan nama-nama sekolah swasta yang top di Kota Bandung dan tentunya muaahal)”.

Tapi kalau keluarga sederhana seperti saya ya sebagai ortu mengarahkan anak untuk memiliki tujuan ke sekolah negeri supaya murah dan bermutu. Karena nilai akademik anak sedang dan juga militansi belajarnya pas-pas saja, ya harus sekolah negeri yang tidak terlalu kompetitif. Informasi tentang peta pilihan sekolah itu dikembangkan ortu dan anak bersama. Anak-anak kan juga bisa berbagi informasi dengan temannya. Tapi, ortu jelas harus memfasilitasi agar anak punya tujuan sekolah kemana dan berusaha mencapai tujuan itu.

Kadang saya melihat anak yang ngambek karena ibunya/ortunya bersikeras memilih sekolah negeri tertentu supaya lulus, sedang anaknya ingin sekolah yang lain yang diinginkannya. Mungkin ortu dan anaknya kurang diskusi karena ini harusnya merupakan proses diskusi dan keputusan bersama berdasarkan berbagai pertimbangan tadi.

***

Menguasai Aturan atau Kebijakan Penerimaan Siswa Baru

Banyak sekali orang tua dan anak yang mengalami kerugian hanya karena tidak menguasai informasi kebijakan dan aturan teknisnya sebagai rujukan dalam mendaftarkan anak ke sekolah negeri (SD, SMP, SMA, dan yang setara). Saya kira hal ini pun banyak terjadi di daerah-daerah lain, yaitu masyarakat masih suka ketinggalan informasi kebijakan yang terkait mekanisme dan ketentuan PPDB di kota/daerah kita.

Orang tua sebaiknya juga melibatkan anaknya (sejak SD) untuk mulai membuka web PPDB dan bersama-sama mempelajari ketentuan memilih sekolah negeri (SMP).Web ini adalah sumber informasi tentang kebijakan, daftar nama dan alamat sekolah, serta passing grade (PG) atau batas nilai lulus di tahun sebelumnya.Pelajari sekolah dengan nilai-nilai PG yang paling dekat dengan kemampuan akademik anak dan jadikan sebagai daftar pilihan.

Beberapa hari sebelum pendaftaran dimulai, web akan menyapa dengan ucapan “Selamat Datang di Web….”dan web masih dalam status ujicoba.Pelajarilah “Petunjuk” pendaftaran secara garis besar yang sudah tersedia di web. Biasanya web ini buka sesudah ujian selesai (UN/US).

Sekolah biasanya juga takut memberikan informasi kepada orang tua sebelum ketentuan resmi diterbitkan. Takut keliru. Sekolah hanya akan memberikan informasi secara garis besar. Bersabarlah sampai tanggal pendaftaran sekolah tiba. Begitu pendaftaran sekolah dibuka, di webPPDB ini akan terbit Juknis dari Dinas Pendidikan atau Peraturan Kepala Daerah (Walikota/Bupati) mengenai aturan masuk ke sekolah negeri. Durasi waktu pendaftaran hanya seminggu (6 hari efektif) dari Senin sampai Sabtu sehingga kita harus cepat membaca Juknis/Peraturan ini dan mempelajari ketentuan teknis yang harus kita jalani.

Pada tahun 2014 ini Walikota Bandung menerapkan sistem wilayah pada penerimaan siswa baru SD, SMP, dan SMA (dan sederajat) untuk menggantikan sistem cluster (1 sampai 4) yang berlaku sebelumnya. Konsultasikan/diskusikan dengan anak, walikelas/sekolah anak, dan sesama orang tua murid yang bertemu di sekolah dalam mempelajari ketentuan ini. Ketentuan teknis terpenting tahun 2014 di Kota Bandung adalah memilih sekolah terdekat dengan kelurahan tempat tinggal kita agar mendapat bonus nilai, setiap sekolah dengan daftar kelurahannya dapat dibaca di peraturan.

Saya membaca di Forum Tanya Web PPDB Kota Bandung masih ada orang tua yang ‘terkejut’ bahwa ada insentif nilai bagi anak yang mendaftar sekolah di dekat rumah. Terlambat, karena jadwal pendaftaran sudah habis. Karena ketidaktahuannya, maka anaknya salah pilih sekolah. Juga masih banyak orang tua dan anak yang bingung dengan berbagai ketentuan padahal semua ada di Juknis/Peraturan.

Sayang sekali. Masih banyak yang belum terbiasa mengidentifikasi informasi yang diperlukan serta bagaimana mencarinya.

***

Menentukan Pilihan Sekolah Secara Cerdas

“Menentukan pilihan sekolah secara cerdas” itu merupakan saran dari Walikota Bandung kepada para ortu dan calon siswa. Artinya, barangkali, memilih sekolah dengan mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu kebijakan/aturan yang berlaku, tujuan dan kemampuan anak, serta kemampuan finansial ortu.

Semua itusesuai kepentingan terbaik anak, tapi ya masing-masing keluarga kan punya konsep berbeda. Ada yang beranggapan bahwa masuk ke sekolah top tetap merupakan bukti prestasi sehingga itu tetap dikejar meskipun kebijakan pemerntah akan mempersulit dengan cara memberi insentif nilai bila kita memilih sekolah yang dekat dengan kelurahan tempat tinggal sedangkan sekolah top itu jauh. Ada yang memang ‘keukeuh’ berorientasi pada sekolah ngetop sebagai prestise. Tidak mengapa kalau tidak masuk ke sekolah negeri top tapi mampu masuk ke sekolah swasta top. Yang tidak pas itu kalau ‘keukeuh’ masuk sekolah negeri top tapi kalah bersaing, dan malah masuk ke sekolah swasta yang ‘kurang’ karena masalah biaya. Lebih baik memilih sekolah negeri yang sesuai dengan nilai anak dan kemungkinan besar lulus kan?

Anak-anak saya memiliki kemampuan akademik sedang-sedang saja, jadi biarpun saya biarkan menentukan pilihan yang bebas, tapi saya bimbing untuk memahami informasi dari website PPDB Kota Bandung mengenai standar nilai kelulusan (passing grade) ke sebuah sekolah negeri agar realistis. Anak sulung saya ketika masuk SMP diterima di sekolah negeri cluster-2 (saat itu masih system cluster) tapi lebih tertarik masuk ke SMP swasta berbasis Islam yang sekaligus juga pesantren. Setelah hitung-hitungan biaya, ya akhirnya kami mengijinkan supaya anak sejak dini bisa mandiri karena tinggal di asrama.

Anak bungsu saya ternyata lulus ke SMP negeri yang cukup baik meskipun bukan pilihan utamanya. Kami memilih sekolah yang potensial lulus sesuai dengan nilai dan jarak kedekatan lokasi.

***

Menyiapkan Alternatif Pilihan Sekolah Swasta

Saya dan anak juga menyiapkan cadangan alternatif sekolah swasta. Sebaiknya membuat list sekolah swasta berdasarkan freferensi kita (murah/sesuai kemampuan kocek, berbasis agama Islam, dll. kriteria yang dibuat). Saya mempunyai 6 nama SMP swasta alternatif. Sekolah swasta memang mahal, apalagi kalau yang bagus dan ngetop tidak akan terjangkau kocek saya.

Kalau swasta, kami memilih sekolah berbasis agama yang biasanya berada di pinggir kota sehingga anak harus tinggal di asrama. Anak yang sulung lulus ke sekolah negeri malah akhirnya memilih ke sekolah sekaligus pesantren (swasta). Sedang anak yang kecil sangat berharap masuk ke SMP negeri karena tidak mau berpisah dengan ortu.

Ya, ini semua proses diskusi antara ortu dan anak. Sekaligus membuat anak pengertian tentang berbagai pilihan berdasar peluang dan keterbatasan. Ini memicu anak bungsu saya untuk belajar lebih keras supaya lulus. Tapi kalau tidak lulus, anak mengerti juga konsekuensi beserta dasar alasannya. Artinya, anak tidak akan nangis guling-guling atau mengunci diri di kamar kalau tidak lulus karena sudah dibahas alternatifnya.

***

Harus Bisa Masuk ke Jaman Teknologi Informasi

Sebelum web “PPDB Kota Bandung” aktif, saya browsing dengan kata kunci “kebijakan penerimaan murid baru di Kota Bandung” maka munculah berita-berita dari media massa lokal tentang pembahasan kebijakan baru yang masih draft saat itu. Maka saya pun mulai memantau perkembangan kebijakan itu dalam rangka siap-siap untuk anak saya yang mau ke SMP tahun 2014 ini.

Karena kebijakan dan aturan cenderung berubah, maka kemampuan untuk mengakses informasi bagi ortu jaman sekarang ya sebuah kebutuhan mutlak. Sekarang ini pendaftaran anak ke sekolah lanjutan menjadi tergantung dari orang tua. Sekarang, ortu yang memilih bersama anak mana sekolah terbaik untuk sang anak, sedangkan sekolah hanya memberikan saran dan masukan kepada ortu.

Namanya juga system PPDB online, artinya ya menggunakan teknologi informasi berbasis internet. Ortu dan anak harus terlibat bersama dalam mencari dan memahami informasi untuk memilih dan mendaftar ke sekolah. Anak sekarang kan tidak mau ditentukan ortu secara sepihak. Tapi anak juga harus melihat dari sisi kemampuan orang tua.

Banyak ortu dan calon siswa yang menumpahkan kekecewaan, kesedihan, kecurigaan adanya ‘permainan’, dan juga rasa frustasi: Anak saya sekolah kemana dong?? Nilainya cukup bagus kok gak lulus… Swasta kan mahal…. Swasta kan sudah banyak yang tutup….

Bukan kasus yang sedikit ada anak yang nilainya lumayan tapi tidak lulus karena memilih sekolah yang persaingan nilainya tinggi dan ketat. Mungkin terlalu berambisi masuk ke sekolah ngetop. Atau karena tidak menguasai informasi. Saya perhatikan ortu/anak yang masuk ke web PPDB itu tidak meguasai informasi yang tersedia di web. Semua kebingungan dan kesalahan yang dilakukan sebenarnya bisa dihindari kalau menguasai informasi dalam web PPDB.

Yah, ternyata yang masih belum melek media web itu banyak.

***

Semoga catatan ini membantu ortu yang baru akan menghadapi PPDB. Lumayan juga intensif perhatian kita sehingga ortu perlu menyediakan waktu yang khusus bersama anak menghadapi PPDB. Pendaftaran sekitar 1 minggu, seleksi online juga sekitar 1 minggu, pengumuman dan pendaftaran ulang. Ya, sekitar 2 minggu lebih ortu mengalami proses ini.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun