Hidup ini layaknya permainan catur, setiap langkah yang baik akan berlanjut dengan langkah bagus berikutnya dan berpuncak pada kemenangan, sebaliknya setiap langkah buruk akan mengakibatkan keadaan menjadi buruk lalu akan semakin terpuruk dan berujung pada kekalahan.
Saya tertegun ketika tiga puluhan tahun lalu seorang guru yang bijaksana mengatakan kepada saya: ”Mengapa kamu tidak mau dan tidak mampu mengimplementasikan pengetahuanmu tentang catur dalam kehidupanmu?”.
Sungguh saya sangat berterima kasih pada beliau karena saat itu adalah titik tolak dari perenungan-perenungan saya mengenai hidup dan diri sendiri melalui pengetahuan catur yang sedikit saya ketahui sebagai hasil belajar sejak masa kanak-kanak.
Malam itu pada bulan Juli 1997 di Katong Park Hotel Singapore, selepas mencapai Grandmaster norm, saya merenung dan bertanya pada diri sendiri “what next”, lalu saya merasakan sisi terindah dari catur, suatu rasionalitas, kesadaran mutlak dan kontrol diri sepenuhnya terhadap seluruh yang menyangkut diri dan hidup sendiri.
Malam itu saya memutuskan bahwa kompetisi catur bukanlah jalan hidup bagi saya, karena terlalu banyak faktor internal dan eksternal dalam diri saya yang kurang mendukungnya, tapi catur mengalir dalam darah.
Saya dilatih ayah dan sesepuh-sesepuh catur SulSel sejak berusia 6 tahun, mencintai catur dan tidak ingin kehilangannya, sejak itu saya hidup dengan filosofi dan batin catur.
Dalam diri seorang manusia terdapat suatu terang yang alamiah, terang itu ada dalam batin manusia dan disebut psike atau psikis, gejala psikis ini ada dalam setiap manusia dalam bentuk berbeda, hidup batin tidak sama pada setiap orang karena pengalaman hidup yang berbeda.
Gejala psikis ini kemudian menjadi salah satu faktor terdominan membentuk kepribadian yang sangat mempengaruhi proses berpikir dan keputusan-keputusan seseorang tentang apapun, batin manusia tercermin pada kelakuannya.
Menurut F. Ryle dalam bukunya The Concept of Mind, “Batin manusia tidak saja mencerminkan hidup seseorang melainkan merupakan suatu pedoman bagi perkembangan hidupnya selanjutnya.”
Batin dikenali dengan menghayatinya, diantara manusia ada yang iklas selalu berusaha membentuk kehidupan batin dan kepribadian baik dan teratur sesuai norma-norma yang dianutnya, itulah orang-orang yang beragama dengan benar.
Sebaliknya tidak sedikit pula yang membutakan mata batin dan hidup menuruti salah satu perasaan dan nafsu tertentu, menghalalkan semua cara demi memenuhi keinginan dan perintah nafsunya, orang-orang seperti itu akan memanipulasi apapun termasuk pengertian agama yang dianutnya sendiri.
Agar bisa mendapatkan hidup psikis yang baik seseorang harus menyadari bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang dibangun, dilatih atau dibiasakan sehingga menjadi suatu pola pikir dan pola hidup sehari-hari. Secara teoritis tidak mungkin ada orang berkepribadian buruk mendadak berubah menjadi baik dengan tiba-tiba saja dan dalam waktu yang singkat (meskipun sebagai orang beragama dan yakin pada ALLAH. Saya juga percaya bahwa Rahmat ALLAH bisa saja dikaruniakan pada siapapun).
Oleh sebab itu untuk dapat menjadi individu yang hidup teratur dengan batin yang bersih dan berkepribadian baik, seseorang harus membentuk dirinya secara perlahan-lahan.
Manusia didunia ini terdiri dari dua macam, yang pertama adalah orang yang berjalan menuju baik dan kedua adalah yang berjalan sambil tertidur dalam kehidupan.
Tidak sadar dan terus memelihara dan mempertebal kepribadiannya yang buruk. Pengelompokan ini ada disemua strata sosial, mulai dari ilmuwan yang manipulatip petinggi yang tidak amanah, orang yang sedikit sukses lalu sombong bahkan sampai ke manusia distrata sosial terendah pun banyak yang tidak memperbaiki diri malahan semakin menjadi buruk dengan berbagai alasan rasional keliru yang dibenarkan secara tidak bertanggung jawab dalam pikirannya.
Manusia memang cenderung membohongi dirinya sendiri jika tidak melatih batin untuk selalu tegas dan keras pada dirinya sendiri. Langkah pertama untuk memulai penghayatan batin adalah hidup dalam kesadaran penuh, atau yang dikatakan sebagai “manusia hadir dalam dirinya sendiri”, ini persis sama saja dengan keadaan ketika seorang pecatur sudah duduk didepan papan dan akan segera memulai pertandingannya.
Tindakan pertama yang akan dilakukannya adalah mengumpulkan konsentrasi. Itu berarti keadaan awal yang harus dipenuhi adalah berada dalam kesadaran penuh yang total dalam pikiran, tahu dimana dia berada, untuk apa, apa yang sedang dilakukan dan bagaimana melakukannya dengan benar.
Jika keadaan jiwa dan pikiran telah mencapai titik ini berarti segala sesuatu tentang pikiran dan tindakan akan terkontrol. Hidup dan bermain catur membutuhkan hadirnya kesadaran diri yang eksplisit dan refleksif, sehingga semua keputusan, tindakan dan perkataan menjadi sesuatu yang dilakukan dengan kesadaran penuh dan tentu saja akan wajib untuk bisa dipertanggung jawabkan.
Disinilah catur mempunyai peran dan fungsi dalam kehidupan para pecatur. Para pecatur juga hanya manusia biasa, maka pecatur pastilah juga terdiri dari dua jenis: Pertama adalah yang sadar, tahu dan menangkap dengan jernih semua makna yang tersirat dibalik langkah-langkah catur dan Kedua: adalah yang hanya memperlakukan catur sebagai sebuah permainan tidak merasakan apapun tentang catur, punya mata tapi tidak membiasakannya melihat.
Ini sama saja dengan orang bermain sepakbola yang hanya “ tendang kejar” tanpa berusaha mengerti filosofi sepak bola, atau seorang petinju yang memukul dengan mata terpejam, hanya memukul tanpa tahu lawannya berada dimana.
Ada pemusik yang terus menerus menggali nuansa-nuansa indah bermusik, menghayatinya dengan batin dan menghasilkan karya-karya abadi. Ada juga yang bermusik demi bayaran dan bukan karena musik itu sendiri, demikianlah hidup.
Apakah kita menjalaninya sebagaimana hakikat hidup yang sebenarnya atau malah secara tidak sadar telah terseret-seret oleh arus besar kekacauan nilai dan telah mengeser tujuan hidup kita kearah yang bahkan tidak kita ketahui dengan pasti.
Para pecatur yang berprestasi pasti selalu bermain dalam kesadaran penuh, tidak dipengaruhi perasaan apapun seperti gugup, tergesa-gesa, ambisi dan lain-lain apalagi faktor-faktor eksternal diluar permainan yang sedang dihadapi.
Kesadaran seperti ini sesungguhnya sangat erat kaitannya dengan karakter kepribadian seseorang. Watak seseorang sebagian besar tergantung pada cara seseorang menghadapi dunia dan mengendalikan emosinya, sampai disini janganlah kita kemudian menyalah artikannya sebagai jika demikian itu adalah bakat bawaan seseorang.
Tidak ada seorangpun yang lahir dengan kepribadian tertentu, pendidikan orang tua dan lingkunganlah yang membentuknya, namunpun demikian pendidikan dan lingkungan, bagaimanapun buruknya yang telah membentuk awal kepribadian seseorang dapat dinetralisir dan diperbaikinya sendiri, berdasarkan kesadaran yang tumbuh dalam dirinya.
Itulah sebabnya saya pribadi tidak percaya pada bakat, saya percaya bahwa ada orang yang beruntung telah dibentuk oleh lingkungannya dan yang lebih beruntung dan hebat lagi adalah ada orang-orang yang mampu membentuk dirinya sendiri, meninggalkan bentukan lingkungan dari manapun dia berasal, inilah orang hebat yang sebenarnya.
Untuk menjadi orang hebat demikian maka syaratnya adalah kesadaran penuh mengenai dirinya atau yang disebut “Aku” para ahli filsafat berpendapat bahwa “ Aku baru ada artinya bila disadari”.
Augustinus berpendapat bahwa manusia mempunyai suatu kesadaran yang tetap tentang dirinya yang disebut “cogatatio habitualis” kesadaran yang harus selalu hadir pada dirinya setiap saat, sebab tidak ada yang lebih penting daripada mengenali dirinya sendiri.
Dititik ini catur secara perlahan-lahan dan tentu tidaklah sekaligus membiasakan kita untuk selalu berada dalam kesadaran penuh, ketika memutuskan semua tindakan ataupun bahkan ketika sedang mempersiapkan diri untuk semua keadaan.
Memilih jalan kehidupan bahkan memutuskan akan menjadi siapa dalam hidup ini, menjadi sibaik ataupun sibrengsek, yang jahat seyogyanya adalah sesuatu yang diputuskan dan dipilih dalam kesadaran penuh dengan memahami semua keadaan yang akan menyertai dan menjadi konsekwensi dari pilihan.
Itulah catur, sangat tidak sederhana sebagai salah satu pengetahuan yang berfungsi mendidik jiwa menentukan pilihan. Timbullah persoalan, manakah bentuk pendidikan yang tepat untuk mengembangkan suatu kehidupan batin, emosional dan kepribadian yang baik?
Pendidikan disekolah memang bertujuan untuk menambah pengetahuan bagi anak-anak, tetapi apakah itu telah mengcukupi kebutuhan pendidikan seorang anak dalam pertumbuhannya sebagai pribadi?
Jika jawabannya adalah ya, mengapa terjadi tawuran antar sekolah? Mengapa terjadi balapan liar yang pelakunya adalah anak-anak belasan tahun? Apakah ini kesalahan pendidikan atau kesalahan pabrik sepeda motor yang berdosa karena telah memproduksi sarananya.
Para petinggi pendidikan kita seyogyanya tidak menutup mata untuk merasakan bahwa ada kekurangan pada sistim pendidikan kita.
Menurut pendapat saya idealnya mengkombinasikan pendidikan yang menekankan pada keilmuan dengan pembangunan kejiwaan seorang anak, barangkali sudah waktunya para petinggi yang berkompeten di bidang pendidikan nasional kita memanfaatkan catur sebagai kegiatan ekstrakulikuler di sekolah dasar sampai menengah atas, dengan tujuan agar kesadaran pada pengenalan diri telah terbentuk dari awal perkembangan seorang anak.
GENS UNA SUMUS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H