Perbedaan diatas tentu berdampak pada kesenjangan ekonomi dan psikologi masyarakat. Ketika sistem bunga dibarkan tumbuh subur tanpa kendali maka, tidak heran jika terjadi kesenjangan ekonomi yang curam. Orang yang kaya semakin kaya karena bisa seenaknya menentukan dan memperoleh imbalan bunga sesuai selera hidupnya. Sedangkan yang miskin akan semakin tidak berdaya menghadapi kekejaman sistem bunga.
Saat ini masyarakat kita terbiasa menghadapi sistem bunga. Sampai di tingkat pedesaan sekalipun, mereka berfikir “wajar” jika meminjam sejumlah uang tertentu harus mengembalikan beberapa persen lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tak peduli dari mana akhirnya akan mendapat “tambahan” tersebut.
Masyarakat awam sama sekali tidak menyadari bahwa bunga yang mereka bayarkan berdampak sistemik. Jika di tingkat masyarakat ekonomi lemah mungkin nilai bunga pinjaman hanya beberapa rupiah. Namun pada tingkat ekonomi yang lebih tinggi? Para pengusaha, pemerintah, gaji pegawai, berapa nilai bunga dari pinjaman dan berapa nilai bunga hasil simpanan? Belum jika dipakai untuk menghitung bunga pinjaman pemerintah terhadap investor asing dan Bank Dunia, terbayangkah sejauh ini?
Tentu akan sangat berbeda kondisinya jika pemerintah melakukan pinjaman hanya dan hanya berdasarkan prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, seharusnya pemerintah tidak merugi untuk membayar bunga. Karena pinjaman akan dipertimbangkan berdasarkan tujuan, untuk modalkah? Kebutuhan konsumtifkah, atau investasikah? Bagi hasil dihitung berdasarkan keuntungan yang diperoleh, bukan berdasarkan nilai pinjaman yang tentu bersifat jauh lebih adil daripada kinerja prinsip bunga.
Secara psikologi, prinsip bunga yang berasumsi bahwa kreditur akan selalu untung dan dapat membayar kewajiban bunga membuat para investor tidak memiliki kemungkinan untuk merugi. Maka kecenderungan untuk investasi semakin tinggi dari hari ke hari.
Sedangkan bagi para peminjam, kewajiban membayar bunga akan membuatnya was-was bisa memenuhi atau tidak, keuntungan yang didapat dari bisnis dapat mencukupi atau tidak, yang sesungguhnya ini berpengaruh pada kondisi ekonomi di sekitarnya. Jika keuntungan dari usaha tidak mencukupi untuk membayar bunga, maka tingkat konsumsi harus diturunkan, begitu sebaliknya.
Belum lagi timbul rasa tidak tenang, resah dan khawatir dari orang-orang beriman yang bertransaksi secara prinsip bunga akan hukum bunga dalam agama. Orang yang memperhatikan aspek halal-haram tidak bisa merasa tenang ketika menikmati bunga.
Sedangkan dalam prinsip bagi hasil, para pelaku ekonomi diliputi rasa tenang karena selain hukumnya yang jelas halal, mereka tidak lagi perlu merasa khawatir akan prospek usaha dan bagaimana mengelola uang pinjaman.
Usaha dapat dilakukan sebaik mungkin untuk mendapat keuntungan maksimal, karena yang perlu dibagi dengan pemilik modal bukanlah kewajiban bunga yang mungkin saja harus dibayar dengan modal (karena keuntungan tidak mencukupi), tapi hanya keuntungan tersebut yang harus dibagi.
Namun tentu saja pelaksanaan prinsip bagi hasil perlu di dukung oleh sistem dan rasa saling percaya yang tinggi agar sistem ini berjalan lancar dan tidak ada pihak yang saling menipu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H