Saya pernah menulis artikel di kompasiana April 2017 dengan judul "APBN RI melayani institusi keuangan internasioanal karena utang" tentang utang yang semakin besar nilai absolut dan persentasenya terhadap PDB menyebabkan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap peristiwa ekonomi eksternal, kebijakan ekonomi dan moneter yang terjadi di eksternal khusunya Amerika Serikat.
Saya menuliskan pada artikel tersebut bahwa pengeloaan anggaran dan perekonomian yang wujud dari dulu dan saat ini akan membuat rupiah terus tertekan, ketergantungan terhadap mata uang dollar, Monetary policy yang tidak independen, penciptaan utang baru, dan jebakan defisit anggaran dan defisit transaksi berjalan.
Seperti pada saat ini terjadi pelemahan rupiah year to date sudah mencapai +/- 10 %, salah satu pelemahan terbesar selama pemerintahan Jokowinomics. Rupiah terus tertekan hingga menembus level psikologis Rp. 15.000. Ini menyebabkan pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat khawatir akan menyebabkan krisis.
Peristiwa pelemahan rupiah ini pun menjadi topik utama media dengan berbagai ulasan yang tentunya dikupas dari berbagai perspektif. Tetapi, terlepas dari berbagai sudut pandang yang mengemuka di bebagai media, harus diakui bahwa jokowinomics lemah dalam mengantisipasi dan kordinasi dalam mempertahankan stabilitas nilai rupiah. Pemerintah harus mengakui kelemahan tersebut dan melakukan perbaikan serta koreksi yang diperlukan dengan cepat dan tepat.
Sebagaimana judul kalimat terakhir dari artikel ini, sejatinya dollar sedang melemah, karena di 2018 ini sampai dengan Juni saja, setelah sekian lama atau 6 tahun terakhir, Amerika mengalami inflasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 2,9 %. Artinya di negeri asalnya nilai uang dollar relatif menurun terhadap nilai barang dan jasa, terjadi kenaikan harga -- harga barang dan jasa yang lebih cepat.
Inilah yang menyebabkan tidak semua mata uang negara -- negara melemah terhadap dollar, seperti mata uang negara berikut justru menguat terhadap dollar AS, yaitu: yen jepang, dollar australia, poundsterling inggris, franc swiss, dollar kanada bahkan peso mexico.
Sehingga, dengan demikian pemerintah tidak perlu lagi hanya bicara sebab eksternal untuk membela diri dengan mengatakan bahwa pelemahan nilai mata uang dialami oleh banyak negara, atau mengatakan ini semua karena kebijakan trump effect. Apalagi sampai mengatakan, ini disebabkan oleh menguatnya nilai mata uang dollar, membaiknya perekonomian AS, dan lain sebagainya hanya untuk menutupi kelalaian, kelemahan antisipasi dan kordinasi ekonomi dalam negeri.
Kalau cara berpikir dan bertindaknya seperti ini, saya menduga gelar profesor, phd, doktor, master ekonomi di dalam team ekonomi Jokowinomics tidak mencerminkan gelar -- gelar tersebut. Ada tidak ada mereka, atau siapapun yang mengisi team ekonomi dari setiap pemerintahan yang ada hanya doing job as usual alias auto pilot.
Funny and dumb, mempersalahkan atau mengomentari sesuatu yang buruk dialami dari sesuatu yang tidak bisa dikontrol. Dengan kata lain, analoginya anda mengalami tirisan/rembesan air hujan masuk ke dalam rumah anda pada saat musim hujan, menyebabkan seluruh lantai rumah dan barang-barang anda basah, terendam air dan tentu merusak barang -- barang yang tidak tahan kena air.
Kemudian, anda mempermasalahkan penyebabnya adalah awan yang gelap dan terjadinya hujan, tanpa sedikit pun bicara bahwa anda lalai memperbaiki atap yang bocor, ventilasi yang tidak berkanopi, dan hal -- hal yang berpotensi masuknya air hujan ke dalam rumah anda.
Sehingga tidak kesatria, tidak jujur, tidak cerdas, jika alasan -- alasan seperti ini terus -- menerus dikemukakan. Pemerintah memiliki semua instrumen yang diperlukan untuk mengatasi, merespon segala bentuk permasalahan ekonomi yang wujud.