Sebenarnya saya malas menulis tentang Anies Baswedan (AB), karena saya merasa terlalu mubazir waktu dan pikiran saya untuk diberikan kepada seorang AB . Tetapi, dikarenakan kasihan pada masyarakat Jakarta, dan gaya si AB yang kian tak jelas, akhirnya tidak tahan juga untuk menumpahkan kekesalan saya atas kepemimpinan si AB ini.
Target
Kepemimpin yang efektif harus memiliki target, atau Bapak manajemen modern, Peter Drucker mengistilahkannya dengan istilah Management by objectives. Target akan menuntun seorang pemimpin untuk mengalokasikan sumber daya dengan efektif dan efisien. Dengan adanya target maka kinerja akan dapat diukur sepanjang proses berlangsung secara terus menurus, hingga suatu pekerjaan selesai pada posisi tepat jumlah, tepat waktu, tepat kwalitas dan tepat biaya. Penentuan target juga akan dapat menunjukan siapa dan seperti apa pemimpin itu.
Apakah biasa -- biasa saja, apakah pemimpin yang memiliki visi besar yang memberikan gambaran suatu lompatan kemajuan. Tanpa target seperti kepemimpinan Anies Baswedan saat ini hanya akan menjalankan pemerintahan DKI seperti apa adanya alias mengelinding, tidak dapat dinilai, sulit untuk dapat dikritisi dan tidak memberikan harapan baru, hanya doing works as usual. Dan kelihatannya AB memang sedang menepatkan kepemimpinannya di wilayah abu -- abu.
Sekarang kita tidak mendengar lagi, tidak melihat lagi apa saja target  besar pemprov Jakarta dengan APBD besar yang dimilikinya. Berapa banyak rumah DP nol rupiah akan di bangun di tahun 2018, berapa banyak kampung kumuh yang akan dibereskan di 2018, berapa banyak titik -- titik banjir yang akan dikurangi di 2018, berapa banyak bus untuk bus way transjakarta yang akan ditambah di 2018 untuk menurunkan waktu tunggu penumpang bus, berapa banyak koridor bus way yang akan dibangun di 2018.
Berapa panjang trotoar akan dibangun di 2018. Berapa ruang terbuka hijau yang akan diciptakan di 2018, berapa banyak penduduk miskin yang direlokasi ke rumah DP nol rupiah di 2018, berapa panjang sungai yang akan dinormaliasisi atau dinaturalisasi (istilah AB) di 2018. Berapa banyak kartu jakarta plus yang akan dibagikan kepada rakyat di 2018. Semua menguap, masyarakat tidak mengetahui, tidak ada yang dapat dijadikan masyarakat sebagai suatu acuan kinerja sebuah pemerintahan.
Uang APBD Jakarta yang begitu besar, lebih dari 74 triliun rupiah per tahun tidak diketahui masyarakat akan jadi apa. Masyarakat jadi buta dibuat oleh AB, karena tidak bisa menilai sejauh mana pekerjaan AB. Dan masyarakat akan bingung, tidak tahu apa yang harus dia tagih kepada pemerintahannya.
Sudah saatnya masyarakat bicara angka - angka, agar dapat diukur dengan baik tingkat keberhasilan suatu pemerintahan. Jangan lagi bicara kualitatif yang cenderung wilayah abu - abu karena, mulut politisi, penguasa jauh lebih licin dan menipu bila berdebat dalam tataran kualitatif. Bicara target dalam angka, index keberhasilan, rangking, itu yang harus dibudayakan oleh masyarakat kepada pemerintahannya, sehingga masyarakat mampu menilai dan mengukur kinerja pemerintah dengan faktual dan pasti.
Kebijakan
AB dalam mengambil kebijakan selalu pertimbangan utamanya adalah politik pencitraan, mencoba menciptakan branding yang kuat terhadap dirinya, agar dianggap (ingat, dianggap) berpihak kepada masyarakat kecil. Keberpihakan kepada masyarakat kecil adalah hal yang baik. Tetapi, keberpihakan yang didasari kepada kepentingan ambisi politik pribadi, hanya akan membawa kesengsaraan kepada kelompok masyarakat yang digunakan/diperalat dan kelompok masyarakat lain yang dirugikan. Dan pada akhirnya akan merusak tatanan yang sudah baik.
Sebagaimana kita melihat kebijakan AB perihal penataan tanah abang, melanggar Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, bahkan mengangkangi PERDA Â DKI Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban dan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2012 tentang Lalu Lintas. Jalan dan trotoar digunakan untuk berjualan, menggunakan jalan dan trotoar yang dibangun dengan dana besar pada yang bukan peruntukannya.
Di sisi lain pendapatan pedagang yang memiliki kios yang legal di sebelah dalam pasar tanah abang blok G akan sangat dirugikan, karena akan banyak pembeli tidak mau cape -- cape masuk ke dalam karena di sepanjang jalan utama sudah ada penjual barang yang dibutuhkan. Lain lagi dengan para supir angkot yang biasa mengantar penumpang disepanjang jalan yang ditutup untuk pedagang kaki lima, pendapatan mereka menurun drastis karena tidak diijinkan lagi mengambil penumpang disepanjang jalan tersebut.
Membantu satu kelompok masyarakat, dengan merugikan kelompok masyarakat lainnya yang lebih besar, adalah sebuah kebijakan yang norak alias udik. Apalagi masyarakat tersebut berada dalam kondisi ekonomi atau yang sama, artinya sama -- sama butuh bantuan pemerintah. Kebijakan seperti ini hanya akan menyelesaikan satu masalah dengan menimbulkan masalah - masalah baru. Dan nyata saat ini kebijakan tersebut banyak digugat, diprotes, dan sedang didorong oleh ombudsman untuk dievaluasi. Tetapi untuk menciptakan citra keberpihakan lumayanlah, apalagi dibantu dengan pemberitaan tv  dan media tertentu yang memang sejalan dengan misi politik sang gubernur. Makin mantaplah......
Kebijakan beroperasinya kembali becak dayung di Jakarta, mirip -- mirip dengan tujuan politik pencitraan kebijakan -- kebijakan lainnya. Jauh gubernur -- gubernur sebelumnya berpeluh keringat, caci-maki, sumpah serapah ketika menghapuskan becak dayung dari Jakarta, dengan satu keyakinan bahwa ekploitasi tenaga manusia dengan cara yang tidak manusiawi untuk kepentingan  manusia lainnya tidak dapat dibenarkan. Becak dayung juga menciptakan suatu keadaaan yang menunjukan ketidak-mampuan masyarakat kita untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih bermartabat. Kebijakan ini hanya akan melesatarikan potret kemiskinan di kota Jakarta. Kebiajakan ini juga suatu penghianatan atas keringat dan kerja keras para gubernur terdahulu. Tetapi, lagi -- lagi semua itu tidaklah penting bagi AB, yang penting citra politik keberpihakan versi AB dapat dibangun.
Kebijakan menutup hotel Alexis, ini pun merupakan bentuk arogansi dari pemerintahan AB dan tujuannya tetap sama supaya terbangun citra yang kelihatan tegas dan moralis. Alexis, mungkin dalam menjalankan bisnisnya, ada hal -- hal yang bertentangan dengan aturan pemerintah daerah, tetapi sebagai pemerintah harusnya yang dikedepankan adalah pembinaan atau melakukan evaluasi, peringatan secara terbatas agar hal -- hal yang melanggar tidak dilakukan lagi.
Karena pemerintah seharusnya berpikir lebih luas, pengusaha telah berinvestasi dengan jumlah dana besar membangun hotel, membina manajemen, membangun sistem dan hal lainnya yang menghabiskan biaya. Di sisi lain pastinya alexis memiliki banyak karyawan, mulai dari satpam, petugas laundry, petugas maintenance, karyawan pelayanan hotel, resetaurant, seluruhnya memiliki tugas mulia menghidupi keluarganya. Belum lagi usaha -- usaha lain dan supplier yang terkait degan hotel tersebut.
Anies Baswedan mungkin tertawa dan menikmati hancurnya kehidupann karyawan dan mereka -- mereka yang mendapatkah nafkah dari kegiatan usaha alexis yang sah, dan tidak tahu-menahu dengan masalah yang dituduhkan Anies Baswedan kepada Alexis.
Sebagian publik tahu atau paham, jika pengetahuan politik mereka cukup. Alexis adalah korban kampanye politik AB. Mungkin publik akan mengangkat alis apa yang saya katakan ini. Pada masa kampanye pilkada DKI, Ahok menunjukan keberhasilannya membersihkan kali jodo yang merupakan tempat prostitusi yang terbuka, di tanah yang dianggap ilegal, persis di pinggir kali, tempat itu sekaligus kampung di mana banyak anak -- anak, ibu rumah tangga, lingkungan kumuh, penduduk yang berjubel membuat tempat tersebut sangat rawan, tidak sehat, dan memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan sekitar. Dengan keberanian dan cepat, Ahok mengubah tempat tersebut menjadi tempat yang memberikan segala fasilitas untuk kepentingan umum. Dan tempat ini dijadikan Ahok sebagai salah satu icon keberhasilannya dalam menata Jakarta.
Kali jodo yang sudah berubah fungsi, menjadi terkenal, dan sering diliput media dan ramai dikunjungi masyarakat tentu sangat menarik perhatian. Inilah yang tidak disia -- siakan Anies Baswedan, AB dengan cepat membangun isu politik ketidak-adilan dengan membandingkan penanganan Kali Jodo dan keberadaan Hotel Alexis. Kenapa Alexis ? karena, Alexis sudah sangat populer, strategis dan namanya mudah diingat orang. Karena, sesungguhnya ada banyak hotel dan tempat sejenis yang beroperasi di Jakarta.
Maka, pemilihan objek yang tepat akan sangat menentukan di dalam kampanye politik AB. Alexislah yang menjadi korban. Masyarakat awam Jakarta cepat menangkap isu ketidak-adilan yang dikampanyekan AB, "AB mengatakan kali jodo yang kecil ditertibkan, sedangkan Alexis yang besar dibiarkan. Pemprov hanya berani menertibakan yang kecil dan tidak pernah menyentuh yang besar." Padahal sebagaimana kita ketahui, latar belakang kedua hal tersebut adalah berbeda, sangat berbeda. Tetapi dengan kepiawaian AB dalam berkomunikasi, AB mendapatkan keuntungan politik dengan mengangkat isu tersebut dengan perspektif yang dia inginkan. Â Â Â
Sebenarnya sangat banyak lagi rentetan hal yang tidak jelas yang dilakukan oleh gebernur satu ini, namun sudahlah, tidak enak kita bicara......tapi tidak ada waktu untuk berpura -- pura lagi...hehehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H