Mohon tunggu...
Mas
Mas Mohon Tunggu... Freelancer - yesterday afternoon a writer, working for my country, a writer, a reader, all views of my writing are personal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances— Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Prabu Siliwangi Antara Mitos dan Fakta

10 Januari 2022   09:21 Diperbarui: 10 Januari 2022   09:26 1863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi masyarakat Tatar Sunda, julukan Prabhu Siliwangi, sesungguhnya ditulis Silih Wangi, sudah tentu sangat dikenal. Ia dianggap sebagai raja Sunda Kuno terbesar, yang membawa keharuman dan kemakmuran kerajaannya. 

Istilah Siliwangi telah disebutkan dalam naskah Bujangga Manik tersimpan di perpustakaan Bodleian di Oxford (Inggris) sejak 1627 atau 1629. Bujangga Manik adalah seorang bangsawan Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) yang memilih menjadi rahib Hindu-Sunda yang berkelana ke beberapa tempat suci untuk mencari tempat untuk masa akhir hidupnya.

Dalam naskah (baris 663-667) yang tertuang di buku Tiga Pesona Sunda Kuna karya J. Noorduyn (Direktur KITLV yang pensiun pada 1991) dan A. Teeuw (Profesor Emeritus bidang Bahasa dan Sastera Melayu dan Indonesia di Universitas Leiden) tertulis: 

Nyiar lemah pamasaran/ nyiar tasik panghanyutan/ pigeusaneun aing pah/ pigeusaneun nunda raga

(Mencari tempat untuk pekuburan/ mencari telaga untuk tenggelam/ tempat untuk kematianku/ tempat untuk meninggalkan badan)

Kronologi naskah Bujangga Manik menurut J. Nooduyn yang merupakan peneliti pertama naskah tersebut mengatakan more specifically the mention Majapahit, Malaka and Demak allow us, as we shall see, to date the writing of the story in the 15th century, probably the letter part of this century, or the early 16th century at latest. Pernyataan Nooduyn memberikan kisaran waktu penulisan naskah pada abad ke-15 atau paling akhir pada permulaan abad ke-16 Masehi. Kisaran itu memang mungkin benar karena didasarkan pada penyebutan tempat-tempat yang secara politis sedang berkembang atau masih berkuasa dalam periode yang sama. hal yang menarik adalah adanya penyebutan sasakala siliwangi di dalam naskah Bujangga Manik pada akhir abad ke-15. Kata Siliwangi atau Silih Wangi telah dikenal. Berikut kutipan naskah Bujangga Manik

Sadatang ka tuntung Su (n)da, Nepi ka Arega Jati, Sacun (n)duk ka Jalatunda, Sakakala Silih Wangi, Samu(ng) kur aing ti inya, Meu(n) tasing di Cipamali. (Setibanya di ujung perbatasan Sunda, Tiba ke Arega Jati, sampailah ke Jalatunda, situs peninggalan Silih Wangi. Setelah aku meninggalkan tempat itu, kuseberangi Sungai Cipamali)

Sejak lama para ahli, media sosial, media cetak, dan media daring tergoda untuk menelusuri tentang tokoh Siliwangi. Bahkan, Kompas.com pun menurunkan laporannya berjudul Prabu Siliwangi: Asal-usul, Masa Kejayaan, Silsilah, dan Mitos Macan Putih dan dibaca 2.588 kali.

Kajian pada mulanya dilakukan Moh. Amir Sutaarga tahun 1965 dengan judul Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prabu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Hadji di Pakuan Padjadjaran 1474-1513. Kajian berikutnya dilakukan Ayatrohaedi tahun 1986 dengan judul Niskalawastukancana 1348-1474: Raja Sunda Terbesar? Menyusul kemudian kajian Saleh Danasasmita yang menulis dalam bahasa Sunda dengan judul Tokoh Siliwangi dina Sajarah, termaktub dalam kumpulan karangan yang bertajuk Nyucruk Sajarah Pakuan Pajajaran jung Prabhu Siliwangi tahun 2003. Ketiga ahli tersebut menyimpulkan bahwa Siliwangi dahulu memang tokoh sejarah yang pernah hidup, berkuasa dan dikenang dalam berbagai cerita rakyat dan tradisi lisan lainnya.

Hanya Ayatroehaedi memiliki pendapat yang berbeda tentang identitas Prabhu Siliwangi bukan tokoh Sri Baduga Maharaja. Ia menyatakan:

mengingat hingga sekarang tidak ada satu pun sumber sejarah 'utama' yang pernah menyebut nama itu. Nama Siliwangi sedemikian jauh hanya ditemukan dalam berbagai carita pantun, tradisi lisan, naskah yang berasal dari masa yang lebih muda. Sedemikian jauh, Siliwangi terutama dikenal sebagai tokoh sastra, dan bukan tokoh sejarah, halaman 31

Ayatroehaedi berhasil merangkum informasi tentang Prabhu Siliwangi dari karya sastra Sunda Kuno dan tradisi pantun:

Pertama, menurut berbagai babad dapat diketahui bahwa Siliwangi menjadi raja tidak langsung menggantikan ayahnya, Prabu Anggalarang. Ia menjadi raja setelah ada orang lain yang bertindak sebagai 'penyelang'. Kedua, tokoh itu haruslah hidup pada masa awal masuknya pengaruh Islam ke Jawa Barat, karena menurut sumber-sumber sastra dan tradisi lisan, Siliwangi diajak masuk Islam oleh anaknya sendiri. Ketiga, tokoh itu haruslah yang besar jasanya di dalam memajukan kesejahteraan hidup rakyatnya, karena berbagai sumber menyebutkan bahwa pada masa pemerintahannya kerajaan Sunda berada dalam taraf hidup yang subur makmur loh jinawi, halaman 32

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun