"Aku bukan pendosa!
Ia memberiku tanggapan yang salah. Ia menilai dirinya terlalu tinggi. Tak pantas ia bernapas lebih lama dari seekor nyamuk. Tak patut ia berjalan sebagai gembala," gumam Sanumerta lalu meneruskan langkah.
Hari berganti minggu. Bulan terbit dan tenggelam. Musim terus bergulir tanpa lelah menuju batas penantian.
Gelap telah lingsir berganti mentari yang meretakkan tanah kering.
Sanumerta masih melangkah dengan tumit terbelah. Ketika mendekati tapal batas sebuah kota, ia membaca coret aksara.
"Selamat datang, Begundal."
Ia tertawa. Walau pedih hati, Sanumerta masih menebar rasa menyelimuti dadanya yang terluka. Berbicara dengan bau mulut yang luar biasa. Berjalan dengan aroma tubuh yang tidak biasa. Bernapas dengan udara yang berbeda. Udara panas, anyir dan busuk!
Ia mendapat petunjuk saat bertanya kepada pengembara. Â Melangkah lebar memasuki sebuah rumah berhalaman lega. Berpayung pohon mangga dan berpagar rendah.
"Tanpa suara kau mengambil sarang di tempat ini." Pengunci ilmu dengan suara lantang berseru padanya. Seorang lelaki separuh baya bertelekan tongkat melangkah mendekatinya.
"Aku butuh makanan dan tempat tinggal. Berapa yang engkau punya?" angkuh Sanumerta bertanya.
"Sebuah kepala dan sehelai jiwa berdosa." Lelaki bertongkat yang seorang guru memandangnya dingin.
"Kau berkata seolah aku seorang pendosa yang datang kemari untuk melakukan perbuatan tercela." Sanumerta bertatap mata.
"Pak Tua! Kau, dia dan mereka selalu berkata salah. Kau dan mereka selalu berpanjang kata mengenai sesuatui yang tidak terlihat mata. Yang hanya dapat dirasa, itu kalian kata.Aku mengerti mencuri adalah perbuatan dosa. Tetapi, merampokmu di tempat ini sudah tentu sulit dilakukan."
Lelaki bertongkat menjawab lirih, "Itu pendapatmu."
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H