Rumpun bambu yang tumbuh di seberang jalan depan rumahnya menjadi petunjuk bagi orang yang mencarinya. Ia tinggal di sebuah rumah berdinding batu.
Ia  orang yang cukup. Dua kendaraan roda empat keluaran baru menjadi tanda kemampuannya. Sanumerta dikenal sebagai seorang pedagang alat-alat pertukangan. Dan tidak ada tetangga yang mengetahui bahwa ia juga merangkap sebagai penyamun.
Penyamun yang menyelinap di antara gedung tinggi dan orang berdasi. Lihai dalam mengurus izin galian. Mampu membeli air mata dan menukarnya dengan darah.
Bahkan saat gelegar guntur meremas hati banyak orang, Sanumerta terbahak di genangan memabukkan. Ia memandang benci pada perempuan yang mencium lututnya. Ia muak mendengar tangis pedih dari anak yang ditinggal mati oleh bapaknya ketika longsor terjadi di tebing sebelah barat.
Sanumerta datang seperti dewa penyelamat. Topeng malaikat mulus menempel di wajahnya. Segepok lembaran merah ia julurkan pada perempuan yang ditimpa musibah.
"Biarkan ia tinggal bersamaku, Tuan," tersedu perempuan itu ketika Sanumerta membawa anak gadisnya.
Sesengguk pelan terdengar dari bibir gadis muda ketika Sanumerta membelakanginya. Seringai puas terungkap di wajahnya.
"Legit, sempit dan menggigit!" kata Sanumerta lalu,"Aku tak lagi membutuhkanmu. Pulanglah! Jangan pernah terlihat olehku!"
Ia ucap kata menyayat,"Kawinlah dengan siapa saja. Untukku, banyak gadis yang berbaris di belakangmu."
Sanumerta selalu ada dan hadir di setiap musibah. Ia mengangkat satu kesedihan dan menancapkan perih pada keluarga yang sama. Saat gadis mereka harus pergi mengikuti Sanumerta, mereka tiba-tiba berada di persimpangan.
Mereka tidak akan kesulitan mencari makan, setidaknya untuk beberapa bulan. Namun mereka tak dapat benahi kemalangan yang menimpa perawan.