Mohon tunggu...
kibal
kibal Mohon Tunggu... Petani - Petani

Catatan dari Desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kabar dari Desa: Bagaimana Kami Menjadi Laki-laki?

18 Mei 2020   20:57 Diperbarui: 20 Mei 2020   02:18 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi (Rumangngan)

Tentang bagaimana lingkungan sosial dan segala interaksinya mengajak kami untuk segera menjadi laki-laki, sedini mungkin. Begitupun secara geografis, tepat ketika matahari telah kokoh pada puncak gunung Sinaji dan mungkin ratusan kilometer dari sini, Makassar masih gelap setelah lelah berbalur debu.

Disini, kami, anak-anak sepanjang lereng pengunungan Latimojong telah membereskan cangkir kopi, menyiapkan kaki-kaki mungil kami menjamah tanah basah yang tersapu embun subuh tadi. Seraya berkata, "saya ingin ikut berburu babi Bapak, menjaga jagung dan kacang kita di ladang".

Inilah saat kami mulai berani mendaku diri, ketika telah mafhum bahwa bumi baik tempat segala cita bersandar, butuh dijaga dari hama. Juga, dengan kaki atau tangan yang mencengkram tanahlah imajinasi tentang memilih kursi deretan sebelah kiri, ketiga dari belakang pada mobil panjang bertuliskan "Bus" yang menuju kota, menyambar. Atau harapan duduk dalam kelas-kelas sejuk perguruan tinggi, ada, sekalipun terbata-bata. 

Lantas, bagaimana kami menjadi laki-laki?

Entah bagaimana para pegiat lingkungan hidup yang beranggapan bahwa pada dasarnya manusia itu tak lebih dari sebuah pohon, seekor capung, ataupun makhluk kecil di dasar laut, berpihak atas ini. 

Yang kami tahu aktivitas berburu babi sebagai budaya atau sekedar demi menjaga tanaman pangan di ladang tentu telah ada sejak masyarakat kami tak lagi nomadem dan memulai bercocok tanam.

Berburu babi, atau dalam bahasa kami (Enrekang -- Toraja) Rumangngan, disebut juga mang ula' Bai -- mengusir babi. Seperti kusebut sebelumnya ia adalah bagian dari tradisi dan untuk menjaga tanaman pangan dari hama, bahkan berburu secara berkelompok yang dilakukan setiap hari Minggu hadir sebagai ajang rekreasi tersendiri bagi para Bapak tani yang lebam tersapu panas matahari enam hari sebelumnya, begitupun bagi anak sekolah.

Alat yang digunakan adalah doke (tombak), kebanyakan memiliki bandangan -- sejenis aksesoris dari bulu kambing berfungsi sebagai sebagai pengalih perhatian babi yang newa (mengamuk) saat terkena tombak. 

Karena babi yang sejak diburu hanya terus-terusan berlari, akan sangat beringas jika terluka (masolang mo), oleh karenanya saat naluri babi yang melawan teralihkan oleh bandangan, saat itu pula pemburu memiliki kesempatan lari atau memanjat pohon.

dokpri
dokpri
Dalam sistem perburuan jelas berlaku secara kolektif, dimulai dari menetukan lahan buruan dengan menimbang kebun mana yang habis terjarah babi. 

Namun menempatkan pemburu yang memiliki banyak anjing pada derajat tertentu. Kemudian memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya hingga ke meja makan malam kepada ia yang beruntung tombaknya tepat sasaran. 

Jadi tidak juga seperti cerita-cerita suku masa lalu yang akan dibubuhi tato pada wajahnya setelah berhasil menangkap hewan buruan atau memenggal kepala anggota suku lain.

Tapi ini jelas, bahwa berburu babi dalam komunitas kami adalah aktivitas yang sangat maskulin dibanding mencangkul yang wajar-wajar saja dilakukan oleh perempuan tani. Sekaligus sebagai alat justifikasi dewasa bagi lelaki jika dorongan berburunya berangkat dari keprihatinan akan tanaman di ladang.

Sebagaimana yang dikisahkan Marvin Harris dalam bukunya, "Sapi, Babi, Perang dan Tukang Sihir", bahwa laki-laki Suku Yanomamo yang mendiami hutan Amazon di perbatasan Brazil dan Venezuela adalah simbol perburuan, sebab laki-laki harus mencari hewan buruan untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga.  

Sedikit tentang babi sebagai hama dan kesan diskriminatif yang kami timbulkan terhadapnya, pada kondisi tertentu babi menempati posisi yang sangat spritual menurutku, buktinya masyarakat kami percaya bahwa apabila ada dari anggota keluarga bersedih atau tertawa berlebih pada malam hari, bakal mengundang babi untuk masuk ke ladang dan memakan tanaman pangan.

Juga, babi menjadi alat pengerat persaudaraan kami yang hidup dalam komunitas muslim (Enrekang), dengan saudara-saudara kami dari komunitas Kristen (Toraja). Meskipun beda keyakinan dan wilayah secara administratif, tak jarang hasil buruan dibawa kesana secara cuma-cuma, kadang juga ditukar dengan parang atau alat pertanian lainnya.

Jagung umur 30-40 hari
Jagung umur 30-40 hari

Ini menandakan bahwa sebenarnya tidak ada sentimen berlebih terhadap babi, hanya saja ada penghargaan yang patut kami bayar atas makanan atau tanah yang menghidupi. 

Lalu, bagaimana jika RUU Minerba atau Omnibus law mencoba mengganggu tanah dan yang kami makan? Kami hampir tidak paham dengan perizinan dan benci dengan hal yang berbau administratif, tapi kami punya tombak, kami punya parang.

Kutanya, sudahkah kau jadi laki-laki? Setidaknya di rumahmu, atau di balik daster ibumu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun