Kuhabiskan masa kecilku di kota Kandahar sebelah selatan Afghanistan , kota yang dingin ketika musim dingin dan panas ketika musim panas . Bersama Ibu, Ayah dan ke empat Adik perempuanku. Masih tergiang di telinga bahwa Ayah akan meninggalkan negeri ini untuk menyelamatkan keluarganya dari rasa tidak aman , baru seminggu kudengar pasar di dekat rumah terkena bom, dan ada keluarga Ayah yang meninggal . Ayah hanya seorang penjahit pakaian yang penghasilannya tidak menentu , dia mendidik aku sangat keras agar bisa sekolah dengan baik begitu juga dengan ke empat Adik perempuanku .Tak jarang Ayah memukul kalau aku malas pergi sekolah, keinginan Ayah agar kami bisa keluar dari negara yang penuh konflik ini sesegera mungkin.
Suatu malam , ketika kami baru saja selesai makan malam , Paman dari Ayah mengunjungi rumah dan kulihat dia berbicara serius dengan Ayah, setelah Paman pulang, aku penasaran apa yang dibicarakan dengan Ayah, lalu Ayah menghampiri," Erfani , kemarilah nak!. " , " ya Ayah", sebelum Ayah melanjutkan pembicaraanya aku memotongnya karena sudah tidak sabar . "Ayah , apa yang dibicarakan dengan Paman tadi", "ya,... teman Pamanmu mengajak kau pergi ke Australia untuk mencari penghidupan yang lebih baik. "Mmm".... sudah terbayang dipikiran pergi ke Australia negeri yang kuimpikan selama ini, karena banyak dari warga di desa kami pergi menuju kesana.Lalu aku bertanya pada Ayah, " Ayah, apakah kita sekeluarga akan pergi bersama ?" , Ayah hanya terdiam , Ibupun hanya menghela nafasnya dan memandang wajah ayah seolah menanti jawaban, " tidak nak, Ayah sudah tua biarlah Ayah mati disini, kau masih muda pergilah , kejarlah impianmu, impianmu akan menjadi impian Ayah juga", aku hanya terdiam sedih. segera setelah itu Ayah mempersiapkan segala keperluanku mulai dari pembuatan pasport , dan uang bekal diperjalanan, sebagian uang ini  diperoleh dari Kakak dan Adik perempuanku yang menikah dengan warga negara Iran.
kota kandahar . bbc.co.uk
Waktunya sudah tiba, teman Pamanku yang bernama Mohamed menjemput , perasaanku bercampur aduk, rasa senang dan sedih, sedih meninggalkan Ayah dan Ibu, dan kampungku, lalu Ayah berkata, "pergilah nak!", kupeluk Ayah dan Ibu erat - erat, " ayo!"... Mohamed mengajakku, dengan mengucap bismillah kumantapkan tekad, tiba di bandara Kabul (Khwaja Rawash) , Mohamed mengenalkanku pada orang yang akan pergi ke Australia juga, sepuluh orang termasuk denganku, Mohamed memberikan tiket dengan tujuan Malaysia, aku pikir kalau ke Australia harus ke Malaysia terlebih dulu. Sampai di bandara Kuala Lumpur kami diperkenalkan dengan Mahmoud, dia mengajak kami pergi ke hotel untuk bermalam, dan Mohamed menghampiri, " sampai disini ku antarkan kau ya Erfani, selamat jalan". 2 kali kami berganti hotel di Malaysia ,dan setelah melalui perjalanan darat kami sampai di Indonesia , Mahmoud menyebutnya kota Batam , saya tersadar bahwa perjalanan ini sungguh berbahaya, beberapa kali kami menghindari polisi atau berpindah- pindah tempat, dengan perjalanan yang berliku sampailah kami di kota Kupang ( NTB ), beberapa anggota rombongan terpisah, anggota kami hanya tinggal 6 orang dari Kabul. dari kota Kupang sampailah kami di kota Jakarta , sampai berpindah dari satu hotel ke hotel lain, ini hotel bukan kelas bintang lima , tapi sekelas hotel melati. sampai saya di hotel Mahakam di daerah Blok M,beberapa bulan kami di kota Jakarta dan sedikit mempelajari bahasa Indonesia. dari kota Jakarta kami menuju ke daerah Sukabumi.
Pagi buta ketika penduduk Sukabumi masih terlelap, Mahmoud membangunkanku dan harus segera bergegas karena kapal yang menuju Australia sudah tiba, disana terlihat beberapa orang warga negara lain bergabung yang ku ingat dari Iran dan Irak , hawa dingin menusuk sampai tulang, kami menaiki kapal satu - persatu, dan sampailah kami di lautan yang luas, hujan dan petir silih berganti awan hitam mencurahkan hujan yang sangat deras menyambut kami dilautan , kami semua khawatir, dan berdoa, setelah beberapa lama di lautan kapal berputar haluan , mereka melihat patroli kapal berbendera Australia, kami semakin khawatir harus menempuh beberapa hari lagi di kapal, persediaan makananpun menipis. sampai suatu hari kami tiba di negara New Zealand , tapi kami disambut oleh petugas PBB UNHCR dan di tempatkan di penampungan khusus pengungsi. Walau hati ini masih was was, setidaknya kami selamat dari badai di laut. kami berpelukan dengan sangat haru. Setelah beberapa lama di penampungan saya berkenalan dengan warga setempat dan memperoleh resident permit. saya tidak menyia-yiakan kesempatan ini, saya berusaha untuk sekolah menyetir, dan melamar jadi pegawai taxi driver. Kehidupanku berangsur - angsur membaik. melalui internet aku berkenalan dengan wanita Indonesia dan kami menikah, ditengah kebahagiaan aku mendapat khabar kalau Ayah meninggal dunia. betapa terpukulnya hatiku.
Hari berlalu bulan berganti tahun, istriku melahirkan anak pertama kami , yang kuberi nama Fauziah Zan. dan aku melanjutkan sekolah lagi mengambil S1 jurusan politik dan hubungan internasional, cita - citaku ingin bekerja di PBB. Inshaa Allah...,Walaupun bukan negara Australia seperti tujuan semula, tapi kami menemukan negeri impian dan harapan....
******
#Cerita ini hanyalah fiksi jika terdapat kesamaan nama atau tempat hanya suatu kebetulan saja#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H