Mohon tunggu...
Prasetiyawan Hadiansyah
Prasetiyawan Hadiansyah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sangat mencintai dunia komunikasi, Lulus disalah satu Universitas di Jakarta sebagai sarjana Public Relations. Saat ini bekerja sebagai PR Consultan dan Media Relations Expert di salah satu PR Agency dikawasan Jakarta Selatan. Selain itu, menjadi private PR dan personal image PR consultant.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Implikasi Paperless Media pada Industri PR

19 November 2015   11:51 Diperbarui: 19 November 2015   13:20 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Media cetak kini mulai melirik pasar online ditengah harga kertas Nasional yang semakin melambung."][/caption]Bagi praktisi Public Relations (PR), banyaknya coverage pemberitaan menjadi nilai penting dalam mengukur dampak (impact) dan nilai (value) dari materi komunikasi yang disajikan kepada media. Harapannya tentu saja media target dapat memberikan ulasan terhadap berita yang disampaikan pada pemberitaan media pada edisi berikutnya hingga 3 bulan setelahnya - bergantung kebijakan pada media bersangkutan. Semakin banyak coverage beritanya maka semakin besar juga nilai PR value yang terhitung sebagai sebuah achievement dari projectkomunikasi PR. 

Namun, bagaimana dampak perhitungan angka PR value dengan semakin banyaknya media cetak (Harian dan Majalah) yang mulai gulung tikar dan atau berintegrasi menjadi media online? karena angka PR value yang tinggi sebuah project komunikasi PR disokong dari banyaknya coverage pada media cetak, selain media online.

Melihat peta media di Indonesia berdasarkan penelitian Media Care dalam 14 tahun belakangan (2000-2014), tercatat 1.300 penerbitan sudah gulung tikar. Media-media berguguran, selain tidak mampu bersaing dengan media online yang menjamur juga karena harga kertas yang terus naik. Menurut data Dewan Pers, gempuran media sosial digital dan media online, cukup membuat industri cetak terpengaruh. Hal ini tercatat dari rendahnya pertumbuhan sirkulasi oplah dari 1.100 media di Indonesia pada akhir  2013, yang hanya mengalami pertumbuhan sebesar 0,25 persen.

Bagaimana dengan tahun 2015, setelah secara resmi harian sore Sinar Harapan resmi menutup penerbitan dan merumahkan karyawannya terhitung 1 Januari 2016, dan harian Bola yang berubah format menjadi Bola Sabtu per 31 Oktober 2015, serta banyak majalah banting stir menjadi online media?.

Hal ini tentunya menjadi problematika baru bagi dunia PR mengingat KPI menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah kegiatan komunikasi PR. Bukan saja jumlah kehadiran media dan coverage melainkan perhitungan PR value dan ROI (Return of Investement) dari perusahaan dan klien. Karena saat ini di Indonesia, perhitungan PR value pada media cetak memberikan sokongan terbesar terhadap tingkat keberhasilan kegiatan yang dilakukan sebuah institusi/lembaga/perusahaan/agency PR, sedangkan media online tidak cukup memberikan hasil perhitungan yang signifikan terhadap PR value.

Jika dalam 1 pemberitaan pada sebuah harian yang terbit secara nasional (Kompas, Jawapos,dll), angka PR value - Communcations Value (ComVal) mencapai Rp 100 – 400 juta dan Rp 20 – 200 juta pada majalah, maka dengan 20-40 pemberitaan tentu saja ROI 1500% dari total ComVal dapat tercapai dan menjadi nimimum pencapaian dari satu hasil kerja PR dalam rentang waktu tertentu (1-3 bulan). Dengan dibantu beberapa coverage pada media online yang memiliki PR value dari Rp 200 ribu – 100 juta.

Ini menjadi tantangan baru bagi dunia PR di Indonesia, mengingat masih banyak masyarakat memilih menikmati berita dengan cara tradisional dibandingkan menjelajah dunia digital. Mengapa demikian, karena dengan jika rumus perhitungan ComVal pada media cetak ditambahkan jumlah sirkulasi media, pada media online ditambahkan unique visitor bulanannya. Dengan semakin banyak unique visitor rata-rata yang bersurfer tentu saja akan semakin menambah besaran angka pada nilai total ComVal-nya.

Namun perlu diingat, bahwa tidak semua klien/perusahaan melihat sebelah mata besaran angka pada PR value media online walaupun secara umum dapat disebut sebagai media yang paling cepat menyebarkan berita, karena banyak dari mereka akan menyatakan kepuasan dari seorang PR jika berita aktivitas PR-nya tercover dimedia cetak tertentu.

Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, sebuah pekerjaan rumah dan tantangan baru seorang praktisi/konsultan PR menghadang, bukan saja bagaimana meyakinkan perusahaan/klien bahwa media online mampu menjadi tolak ukur baru dalam menilai sebuah keberhasilan tetapi juga bagaimana membuat PR value sebuah media online menjadi tinggi untuk menggantikan media cetak yang sudah gulung tikar atau berintegrasi menjadi media online. Tentu saja dengan semakin banyaknya media beroperasi ke jalur digital, praktisi/konsultan PR harus lebih bekerja keras menghitung dan mengukur nilai keberhasilan KPI sesuai dengan yang diharapkan, karena dengan satu coverage pada media online cukup untuk menutup besaran PR value pada media cetak.

Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun