Istriku itu pastilah seorang pemaaf dan yakin benar akan cintaku kepadanya. Hampir sepuluh tahun menikahiku, tak pernah dia meminta lebih dari apa yang dapat kuberikan. Jangankan baju baru buat kondangan, krim pemutih kulit atau celana dalam dan BH warna pink pun tidak. Bahkan tak pernah dia merajuk ketika sekedar ucapan selamat ulang tahun pun aku tak mengucapkannya. Tetap saja dia menyambut hasratku untuk mencumbui malam di alisnya yang hitam. Mungkin baginya percuma saja merajuk kepada seseorang macam aku yang tak pernah menganggap istimewa sebuah ulang tahun, termasuk ulang tahunku sendiri. Aku kira istriku memang bahagia dengan apa yang ada.
Tapi Maret ini aku ingin sekali membuatnya lebih bahagia. Segalanya telah kepersiapkan, tinggal memilih dan membelinya. Sekali ini aku ingin mengecup rambutnya sambil berkata, “Selamat Ulang Tahun, Sayang!” Dan kukira hadiah dariku nanti akan membuat malam menjadi datang lebih awal. Aku tak sabar menantikannya.
***
Banyak yang bilang aku tidak sepantasnya menekuni pekerjaan ini. Menjual sebuah produk rokok tidaklah sesuai dengan ijasahku. Tidak klop, kata mereka. Bahkan Rudi sopirku bilang, "Sarjana politik kok jadi sales. Memang sih, pakai dasi dan sepatu. Tapi pantasnya kamu itu jadi politikus, anggota dewan itu. Atau pegawai negeri. Lebih bergengsi. Dan lagi, pekerjaan ini kan jatahnya kami yang D3?"
Aku hanya tertawa mendengarnya. Selalu. Mau apalagi? Menganggur itu tidaklah nyaman, apalagi lebih dari setahun. Membeli koran setiap Sabtu dan Minggu hanya untuk membaca iklan lowongan pekerjaan. Setelah setiap Senin dua atau tiga surat lamaran aku kirimkan, sampai nyaris hapal dengan nama seluruh pegawai di kantor pos, jadilah aku seorang salesman. Seperti Rudi bilang, bersepatu dan berdasi. Berkeliling dari pasar ke pasar, toko dan warung di desa-desa. Dan bukankah ini juga bekerja namanya? Gaji? Hah...mengapa tidak tanyakan itu kepada mereka yang masih nganggur? Dan lagi, jikapun kujawab, apa mereka mau nambahi? Paling hanya diam atau sekedar bilang, "Oooo..."
Pekerjaanku tidaklah sulit. Karena produknya sudah dikenal dan memang diminati oleh masyarakat, maka pekerjaanku hanya tentang mengejar target jumlah terjual yang dibebankan perusahaan kepadaku. Dan mungkin aku ini termasuk orang yang pintar dalam hal berkomunikasi sehingga toko-toko dan warung-warung yang biasanya hanya membeli dalam jumlah sedikit dapat aku rayu untuk menambah barang satu dua. Jadilah aku selalu dapat memenuhi target bulanan dari perusahaan. Pujian dan goncangan pada bahu sering aku dapat dari atasanku. Bonus tentu saja datang dengan sendirinya. Bahkan Rudi sopirku tak mampu menyembunyikan kagum dan terima kasihnya, karena dia juga kecipratan bonus dari hasil pekerjaanku. Aku kira dia pasti berharap suatu saat akan naik pangkat jadi sales, tidak hanya menjadi sopir.
Apalagi setelah setahun lebih aku bekerja, di awal tahun perusahaan mengadakan promosi pada level toko penjual produk. Promosi ini sebagai upaya mempertahankan dan memperkuat posisi pemasarannya. Untuk setiap pembelian 5 slop rokok, perusahaan memberikan 2 bungkus rokok cuma-cuma. Untuk setiap pembelian 10 slop rokok, bonusnya 5 bungkus rokok. Dengan adanya promosi itu pekerjaanku menjadi makin ringan. Target yang dibebankan makin mudah kupenuhi. Bahkan melebihi. Pujian dan bonus kembali datang. Rudi juga makin kagum.
***
Sebagai seorang suami, aku ingin menyenangkan hati istriku. Tapi gaji dan bonus salesman tidaklah cukup untuk itu. Aku harus mencari penghasilan tambahan. Dan promosi perusahaan itu memberiku sebuah jalan, sebuah kesempatan.
Setelah sebulan promosi berjalan, ternyata memang permintaan pasar menjadi stabil dan bahkan bergerak naik. Melihat itu otakku berputar, thek thek thek thek…Dhas! Ketika kuingat Rudi, ah…bukankah dia selalu saja kagum dengan caraku merayu para pemilik toko dan warung-warung itu?
Begitulah. Kepada setiap toko dan warung yang kukunjungi aku katakan persediaan yang kami bawa tinggal sedikit atau sangat terbatas. Yang ingin membeli 10 slop hanya aku beri 9 atau 8 slop. Yang ingin membeli 20 paling hanya aku kasih 15. Aku yakinkan bahwa kunjungan berikutnya akan dipenuhi 10 tau 20 slop sesuai permintaannya. Seminggu berikutnya aku penuhi, seminggu berikutnya aku katakan lagi: stok terbatas!
Dengan begitu tidak semua bonus yang disediakan aku bagikan ke toko dan warung-warung itu. Dalam sehari saja ada lebih dari 50 bungkus rokok yang bisa aku simpan. Laporan? Ah, yang penting kan target bulananku terpenuhi. Bagaimana pintarnya aku melaporkannya saja. Berkas nota penjualan? Di negeri ini apa yang tidak bisa dipalsukan? Rudi? Hahaha…kendali ada padaku dan sambil tertawa dicium-ciumnya uang yang kuberikan sebagai bagiannya.
Dan Pebruari itu memang menjadi bulan yang menggairahkan bagiku. Pekerjaan terasa jadi makin menyenangkan. Segalanya berjalan lancar dan Rudi bahkan sesekali menyupir sambil bernyanyi, tidak peduli suaranya membuatku geli. Aku yakin Maret nanti aku bisa membelikan istriku tidak saja baju baru buat kondangan, krim pemutih kulit atau sekedar celana dalam dan BH warna pink seperti pernah kulihat di film-film. Sebuah kalung emas pasti akan sangat cantik melingkar di lehernya. Apalagi jika kalung itu hanya berteman celana dalam dan BH warna pink. Hah! Aku senang membayangkannya.
***
Hari Minggu ini kembali aku membeli koran, setalah lebih dari setahun tak lagi kulakukan. Hhmm…sudah kuduga, tak ada berita menarik. Seperti biasa, genit sekali dengan isu lama. 2012 kok ya masih saja meributkan dimana SUPERSEMAR yang asli. Memangnya jika yang asli ketemu, negara ini jadi lebih baik? Tidak ada korupsi, tidak ada perkosaan di angkot, tidak ada yang sesumbar gantung diri di Monas segala. Dan tidak ada pula sarjana yang menganggur.
“Beli koran, tumben? Ada yang dicari?” Istriku datang menaruh kopi.
“Iya. Kepingin saja.” Aku menyahut pendek sambil menyulut rokok.
“Kemarin, katanya hari ini Mas mau pergi dengan Rudi. Jadi?”
Aku diam, pura-pura tak mendengar. Rudi! Aku ingat sekali senyum itu di wajahnya kemarin siang. Sekeluarku dari ruangan supervisor, sopirku itu tersenyum dan mendekat. Aku tak menghiraukannya saat dia setengah berteriak di belakangku, “Terima kasih, Mas. Saya banyak belajar dari sampeyan.”
Hah! Terima kasih? Terima kasih gundulmu!
Dari mana manajer tahu dan meminjam mulut supervisor untuk memecatku, jika bukan dari Rudi? Mestinya memang aku tak melibatkannya dalam rencanaku. Biar dia jadi sopir selamanya. Sekarang, untuk menjaga stabilitas pemasaran pastilah dia yang akan duduk di samping kiri. Bersepatu dan berdasi.
Aku? Terpaksa kembali membeli koran setiap Sabtu dan Minggu. Bajingan!
“Mas…?”
Aku menatap istriku. Ah, kalau saja! Tapi, ya! Wajah yang teduh itu tak boleh tahu. Tidak hari ini. Tidak di hari ulang tahunnya yang kembali akan kulupakan seperti biasanya.
"Tidak hari ini, sayang!"[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H