Mohon tunggu...
Nyi Ismayawati
Nyi Ismayawati Mohon Tunggu... Buruh - Urip sakmadya

Ngupaya upa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bunga Putih di Tepi Kali

17 November 2020   08:27 Diperbarui: 17 November 2020   10:01 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada lima bunga warna putih kutanam di halaman rumahku di desa. Semua aku suka. Semua kucinta.

Kala kudekati melati putih yang harum baunya, Emakku bilang,"Jangan seperti melati, harum baunya tapi tak pernah jadi hiasan rumah. Kena gerimis sedikit saja langsung layu dan rontok."

Kulihat ada tiga melati putih rontok di tanah dengan setitik air hujan yang masih menempel. Melati mulai busuk.

Foto sendiri.
Foto sendiri.
Foto sendiri.
Foto sendiri.
Lalu kudekati bunga wijaya kusuma.

Emakku bilang,"Jangan seperti wijaya kusuma, hanya mekar dan merebakkan aroma wangi saat malam hari tak ada kumbang yang datang. Kadang membuat orang takut dikira ada memedi. Begitu pagi datang langsung layu."

Kulihat ada tiga tangkai wijaya kusuma layu tak menarik.

Foto sendiri.
Foto sendiri.
Foto sendiri.
Foto sendiri.
Foto sendiri.
Foto sendiri.
Di bawah rambatan bunga wijaya kusuma ada kolam ikan dengan setangkai teratai putih berseri.

Emakku juga bilang,"Teratai putih itu cantik walau tak berbau harum."

Aku tersenyum mendengarnya.

Tapi Emak berkata,"Sayang sekali hidup dilumpur dan air kotor jadi hanya kumbang kecil yang datang."

Kulihat seekor lebah kecil terbang di atas putik teratai seakan mau ditelan teratai.

Foto sendiri.
Foto sendiri.
Di dekat kolam ada setangkai anggrek bulan putih nan cantik.

"Anggrek bulan memang cantik dan anggun. Aku suka," kata Emak sambil tersenyum.

Aku juga tersenyum.

"Sayang sekali...," kata Emak sedikit membuatku terkejut.

"Kenapa Mak?" tanyaku heran.

"Mana ada kumbang atau kupu datang menghisap madunya?"

Benar juga kata Emak, pikirku dalam hati.

Foto sendiri.
Foto sendiri.
Di dekat tembok pagar mekar juga setangkai mawar putih. Anggun. Cantik. Harum mewangi. Kala kucium terasa begitu lembut.

"Emak juga suka mawar putih..."

Aku senang mendengar ucapan Emak yang kulihat kembali tersenyum.

"Sayang sekali...."

"Ada apa lagi Mak?" tanyaku sedikit bingung.

"Cuma jadi hiasan meja atau bunga tabur kuburan." Kata-kata Emak ini membuat kaget.

Foto sendiri.
Foto sendiri.
Cuma hiasan. Foto sendiri
Cuma hiasan. Foto sendiri
Aku pun bertanya pada Emak.

"Bunga apa yang warna putih tapi indah dan menarik?"

Emak mengajakku ke tepi sungai di depan rumah kami dan menunjukkan setangkai kembang kertas warna putih dengan seekor kupu sedang mengisap madunya. Mereka menari dan bergoyang dengan desiran angin serta irama gemerciknya air sungai.

"Tak terlalu cantik tapi hidup bahagia bersama kupu di tempat yang damai," kata Emak sambil memelukku bahuku.

Aku bahagia.

Foto sendiri.
Foto sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun