Sesi pertama berakhir. Yahooooo, ini saatnya saya masuk kelas. Kelas yang akan saya tempati berbagi ini gabungan kelas 1 sampai 3. Adik-adiknya masih kecil-kecil. Imut-imut. Aiiii,, kegemesanku terhadap anak kecil tiba-tiba ON. Beruntung tidak sampai mencubit pipi mereka satu-satu. Kondisi kelas sudah mulai semangat rupanya. Kakak relawan yang pertama masuk sudah berhasil membangun suasana. Pekerjaanku jadi lebih mudah kalau seperti ini. Itu hanya ada dalam pikiranku ternyata.
Menghadapi adik-adik kecil polos dan jujur ternyata tidak segampang menghadapi peserta di sebuah diklat yang isinya orang dewasa. Orang-orang dewasa, ketika kita meminta perhatian dan berbicara mereka bisa memaksakan diri untuk fokus. Tapi, adik-adik yang masih murni ini tidak demikian.
Kelas saya mulai. Ketika saya mengatakan “hallooo”, mereka semua sudah paham harus menjawab apa. Mereka menjawab dengan “Haiii”. Saya sengaja membangun antusiasme mereka dengan berkali-kali mengatakan “halloooo, hallooo ada orang di sini??” semakin lama, mereka semakin kompak dan antusias. Great. Ini sudah saatnya masuk ke tahap berikutnya.
Selanjutnya memperkenalkan diri dulu. Setelah saya memperkenalkan nama, giliran mereka. Satu persatu yang kutunjuk menyebutkan namanya dan diikuti oleh teman-temannya. Ini biar mereka merasa diperhatikan. Perkenalan selesai. Next step. Saya membuka gulungan kertas yang semalam saya corat-coret dengan berbagai warna. Isinya berjudul “Kelas Inspirasi”. Selanjutnya di sana ada nama saya dan tempat saya bekerja sebagai statistisi. Tepat di samping nama saya, ada gelar untuk mereka. Adik-adik yang kuberi gelar Anak-anak Bintang.
Semuanya tertarik dengan apa yang tertulis di sana. Tetapi, sebelum memperkenalkan profesi lebih lanjut saya ingin membekali mereka sebuah brain gym sederhana dulu. Untuk melatih psikomotorik mereka. Brain gym sederhana ini saya dapatkan dari seorang Kakak penggiat pendidikan sewaktu diklat prajabatan. Oleh-oleh dari negeri Sakura dan negeri Gingseng (Jepang dan Korea) yang sudah dimodifikasi. Di kedua negeri itu, sebelum anak-anak masuk ke kelas mereka akan diberi senam otak dulu sekitar 5 sampai 15 menit. Itu dimaksudkan agar mereka berada di gelombang otak alfa. Meski sebenarnya anak-anak usia di bawah 10 tahun gelombang otaknya masih berada di zona Alfa.
Senam otak yang kami lakukan sederhana, hanya terdiri dari 4 gerakan dengan namanya masing-masing. “tonji-tonji, cha-cha, yim-yim, tolah-toleh, cha-cha”. Mereka semangat ingin mengikuti saya. Senam ini diulang berkali-kali. Tapi, masih banyak yang belum bisa menghafal. Saya maklum saja. Ini hal baru bagi mereka.
Sekarang masuk ke inti dari alasan saya ada di depan mereka. Membagi informasi tentang siapa dan apa yang saya lakukan. Ketika memberi tahu bahwa saya seorang statistisi di Badan Pusat Statistik. Mereka semua melongo. Raut wajah mereka yang sepertinya baru pertama kali mendengar ada profesi statistisi, semacam sedang mengatakan “ELS”. “Emang Loe Siapa?”. Hahaha, menampar sekali rasanya. Jleb. “Aaaa, Mama pengen pulang aja”.
Sebelum saya sakit terlalu dalam (lebay). Mencairkan suasana saja dulu dengan menanyakan apa cita-cita mereka. Satu per satu dapat giliran. Jika saya proporsikan profesi yang mereka inginkan seperti ini: Laki-laki 40 persen Tentara, 40 persen Polisi dan 20 persen pemain bola; perempuan 80 persen guru, 15 persen dokter dan 5 persen Polwan. Jadi profesi yang mereka inginkan hanya ada 5 jenis.
Ini sebuah tantangan besar bagi saya untuk memperkenalkan apa itu statsitisi. Kembali mencoba menyentuh penalaran sederhana mereka. Menganalogikan profesi saya dengan hal-hal yang dekat dengan mereka. Yaitu matematika. Tapi sepertinya mereka tidak bakal ada yang menginginkan profesi ini begitu saya menyebut matematika. Terang saja, bagi sebagian anak-anak matematika itu mematikan. Hahaha salah analogi saya. Kesalahan cara mengajarkan matematika sudah menjadikan saya tumbal di hari inspirasi ini. Padahal kalau matematika diajarkan dengan melibatkan alam sekitar dan hal-hal sederhana, akan sangat menyenangkan. Ayo adik-adik kita menghitung semua rumput yang ada di halaman sekolah, kita kalikan dengan rumput yang ada di sepanjang jalan. Langsung balik kanan, kabur pulang ke rumah semua adik-adiknya. :D
Mendengarkan cita-cita mereka dan memaparkan profesiku sudah. Sekarang saatnya memberi mereka gelar. “Anak-anak Bintang”. Semua jadi antusias kembali. Di selembaran kertas tadi ada janji mereka untuk negeri ini. “Kami anak-anak bintang BERJANJI akan terus bersinar demi negeri kami tercinta, INDONESIA”. Ketika kutanya siapa yang ingin menjadi pemimpin membacakan ikrar anak-anak bintang di ruangan ini? Salah satu di antara mereka lansung tunjuk tangan. Maju. Kita membaca ikrar ini dengan sikap yang kuajarkan. Posisi siap dengan tangan kanan terkepal di dada dan tangan kiri terkepal di belakang. Sikap siap ala Shingeky No Kyojin. Salah satu anime yang paling kusukai. Hahaha, beginilah kalau pengajarnya pecinta anime.Saya jadi merasa punya pasukan pembasmi Titan. #salahfokus.
Waktu 30 menitku hampir habis, kami gunakan sisanya untuk bernyanyi. Saya menanyakan mau menyanyi lagu apa. Tiba-tiba bangku kedua dari belakang pojok sebelah kiri ada yang nyeletuk “Indonesia Pusaka”. Wah, fantastic. Sangat pas dengan suasana yang kita bangun. Selain itu, lagu ini yang membuat saya selalu ingin pulang ke Sulawesi sebagai bagian dari Indonesiaku, ketika merantau ke tanah Betawi. Saya meminta adik yang tadi mengusulkan untuk jadi pemimpinnya. Dia malu-malu, tapi saya minta teman-temannya untuk menyemangati. Akhirnya dia mau. Jadilah kami mendendangkan lagu karya Ismail Marzuki ini bersama-sama.
Sebagai penutup saya kembali menanyakan tentang cita-cita mereka sembari membagikan kertas untuk menuliskan cita-citanya. Hanya ada satu orang yang ingin jadi seperti saya. Asik, ada yang ingin tenggelam dengan rumus-rumus bersama saya. Selain itu, semua masih teguh dengan cita-cita awal. Tetapi, yang menarik ditengah-tengah diskusi kami ada yang selalu tunjuk tangan ketika saya bertanya siapa yang ingin jadi pemimpin. Dia adalah calon presiden Indonesia masa depan. Semua menuliskan cita-citannya di kertas dan menempelkannya dengan cara melompat pada kertas karton yang kusematkan di dinding. Melompat. Melompat. Melihat mereka seperti itu membuat saya menyadari bahwa mereka benar-benar anak-anak bintang yang akan menepati janjinya.
Waktu yang hanya 30 menit dengan encourage yang lumayan panjang karena proses menempelkan kertas cita-cita, berakhir juga. Cita-cita mereka, semoga semesta memeluknya. Membuatnya terwujud dengan cara yang paling ajaib. Seperti cara semesta yang telah membuat impian saya memiliki sahabat-sahabat kecil terwujud hari ini.
Berdasarkan pengamatan ketika di kelas, mereka semua sesungguhnya punya potensi-potensi yang sangat besar. Potensi yang tersimpan di pojok alam bawah sadar mereka. Potensi yang belum tergali:
-Ketika saya bertanya ada yang ingin jadi pemimpin, salah satu di antara 24 anak yang ada di ruangan itu akan selalu mengangkat tangan. Itu adalah potensi dia yang sesungguhnya. Kelak adik ini akan menjadi seorang pemimpin yang hebat.
-Ketika kutanya kita akan bernyanyi apa. Ada yang langsung mengutarakan pendapat dan dengan sdikit rayuan ia mau jadi pemimpin teman-temannya bernyanyi. Ia adalah calon konduktor besar di masa depan mengalahkan Noorman Widjaja. Konduktor kelas dunia asal Sumatera.
-Ada yang ketika di kelas kerjanya suka mencolak-colek temannya. Sesungguhnya anak ini berpotensi untuk menjadi seorang public figur hebat dengan relasi yang banyak di kemudian hari. Dia adalah anak sanguin yang ingin selalu di perhatikan.
-Ada juga yang malu-malu duduk di pojokan. Bisa saja ia kelak menjadi seorang profesor. Ini karena saya ingat dengan salah seorang teman yang tipe serupa, duduk di pojokan diam. Begitu ditanya “ngapain, diem-diem aja dari tadi?” dengan santai tanpa ekspresi dia jawabnya “Lagi mikir”. Wahahaha. Berat.
-Waktu saya membagikan kertas cita-cita, ada yang sibuk menunjuk temannya yang belum kebagian. Sibuk menyuarakan ketika temannya tidak punya alat tulis. Anak ini sangat berbakat menjadi seseorang yang bekerja di bidang manajemen. Mungkin bisa saja dia kelak menjadi seorang event organizer yang hebat dan memiliki jaringan luas. Setiap adik-adik ini memiliki potensi yang berbeda. Jadi kelak tidak akan ada 40 persen bahkan 80 persen itu, jika mereka sudah mengerti passion-nya. Panggilan hidupnya. Saya menantikan saat itu. Saya menantikan bintang-bintang yang bersinar dari gunung di salah satu sisi Polewali Mandar ini.
********
Untuk para bintang-bintang kecil di gunung sana:
Jangan pernah mengerdil karena lingkunganmu
Jangan cabik-cabik kami pejuang peradaban sebelummu dengan asa yang hilang
Kalian adalah anugrah besar yang di titipkan Ilahi untuk semesta ini
Kalian adalah pilar-pilar yang akan berdiri kokoh memegahkan negeri ini
Kalian adalah mercusuar-mercusuar yang menerangi jalan pelaut tersasar
Tetaplah teguh dan setia pada mimpi-mimpimu
Jadilah seperti gunung dan pantai yang mempesona di negeri kita
Gunung yang bersedia menonjol diterpa badai agar bumi tetap stabil
Pantai yang teguh, sabar dan setia, meski ombak berkali-kali menerjangnya
Tidak ada jaminan untuk kalian akan hidup dengan mudah nantinya,
Tapi pastikan kehidupan yang sekali ini berarti.
Agar perut bunda pertiwi tempat berbaring di akhir bangga memelukmu.
********
Untuk sahabat-sahabat relawan:
Mari lanjutkan kerja indah kita ini!!!
Salam Inspirasi!!!!
“Hari yang indah itu ketika loe ngga pernah menyesal sedikit pun untuk hal-hal yang loe udah lakuin di hari itu”
Penulis : Irwanti "Fia" Hadnus- Relawan Kelas Inspirasi Polewali Mandar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H