Mohon tunggu...
RIKA KURNIAWATI
RIKA KURNIAWATI Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mencoba membiasakan menulis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Esperanto, Akankah Menjadi Peredam Cultural Imperialism?

28 Juni 2014   21:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:23 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya belajar banyak dari informasi-informasi yang terdapat di internet, yang kebanyakan tulisannya disusun dalam bahasa Inggris. Saya juga senang menonton film dan menikmati musik berbahasa Inggris yang mayoritas mewakili pola pikir dan budaya bangsa barat ataupun ras kulit putih.  Dahulu saya sangat kagum, seakan budaya kaum mereka harus diterapkan di Indonesia, bahkan di seluruh dunia untuk mencapai keseragaman. Namun sekarang, setelah menempuh bangku perkuliahan dan sering bertukar pikiran dengan ayah dan beberapa teman, saya akhirnya sadar. Kaum mereka memang telah mengajarkan banyak hal, saya sendiri sangat berterimakasih, tetapi kini sudah saatnya kita menerapkan bahasa netral sebagai bahasa internasional. Bukannya bahasa Inggris atau bahasa lain yang mewakili beberapa kelompok atau negara.

Akuilah, terutama bila yang membaca ini adalah kaum remaja dan young adult / dewasa muda, bahwa budaya barat khususnya budaya Amerika Serikat dan Britania Raya telah memborbardir kita semua. Kita adalah korban cultural imperialism. Cultural imperialism dalam kamus online cambridge diartikan sebagai kenyataan yang memperlihatkan bahwa suatu kebudayaan dari negara/kelompok yang besar atau yang punya kuasa besar mempunyai peran besar dalam mempengaruhi negara/kelompok lain yang lebih lemah/tidak punya kuasa sebanding.

"the fact of the culture of a large and powerful country, organization, etc. having a great influence on another less powerful country, etc"

http://dictionary.cambridge.org/dictionary/business-english/cultural-imperialism

Ya, globalisasi dan westernisasi telah mengubah Indonesia dan mayoritas negara lainnya. Di Indonesia sendiri, budaya barat telah mengubah gaya hidup masyarakat Indonesia. Mulai dari kumpul kebo sampai perjudian. Kebanyakan dari kita juga menganggap ‘bule’ sebagai kaum yang lebih tinggi. Sampai-sampai turis ‘bule’ di tengah jalanpun diajak berfoto bersama. Belum lagi budaya Korea Selatan yang sedang dijunjung tinggi oleh banyak warga dunia. Tidak salah bila pemborbardiran ini dianggap sebagai penjajahan/imperialisme. Imperialisme dalam kbbi diartikan sebagai

“sistem politik yg bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yg lebih besar”

http://kbbi.web.id/imperialisme

Kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar. Menarik bukan? negara-negara yang terlihat indah dan makmur itu ternyata masih ingin menggendutkan ‘harta’nya. Mereka belum puas. Ingin mempertahankan gelar negara adidaya/super power, dimana hampir semua yang mereka lakukan dapat memberi dampak signifikan terhadap dunia.

L. L Zamenhof, seorang pria yang berasal dari Polandia sudah bermimpi akan terjadinya ‘dunia’ yang egalitarian sejak abad ke 19. Ia dahulu hidup dimana Polandia menjadi tempat yang multikultural, dimana sekurang-kurangnya ada 4 bahasa berbeda yang digunakan. Hal itu dapat merangsang kebencian antar etnis/ ethnic animosity. Menurut beberapa penelitian, Esperanto, bahasa netral yang dibuat Zamenhof, jauh lebih mudah dipejari dari bahasa-bahasa lain seperti Bahasa Prancis dan German. Sampai-sampai ilmuwan jenius, Albert Einstein mendukung tersebarnya bahasa Esperanto sebagai bahasa internasional,

“For international communication, international understanding helped by an international language is not only necessary butself-evident. Esperanto is the best solution for the idea of an international language.”

Namun bahasa ini mempunyai kelemahan yang dapat mencetuskan ketidakseimbangan lainnya yaitu kosa kata Esperanto kebanyakan terpengaruh dari bahasa Spanyol, Prancis, German, Italia dan daerah sekitar Eropa lainnya. Dahulu Zamenhof tidak mengetahui bahasa dari benua Asia ataupun Afrika, hal itu membuat bahasa Esperanto terdengar seperti Euro-centric atau hanya berpusat kepada bangsa Eropa.

Bahasa ini telah tersebar ke benua Asia, khususnya negara RRC, Korea, dan Jepang, juga Brazil, sebuah negara di Amerika Selatan. Esperanto sendiri mempunyai beberapa pihak yang mengembangkannya, seperti    di laman berikut ini  www.esperanto-usa.org dan sebuah google group bernama  Soc. Culture. Esperanto.

Sumber lainnya :

http://news.nationalgeographic.com/news/2009/12/091215-ll-zamenhof-google-doodle-esperanto-150th-birthday/

http://en.wikipedia.org/wiki/Esperanto_Wikipedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun