Mohon tunggu...
Khussy
Khussy Mohon Tunggu... pegawai negeri -

tidak ada yang kebetulan di dunia ini. semuanya terjadi dan tertulis dalam skenario-Nya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mbah, Aku Mau Nonton Film Malam Ini

30 September 2012   02:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:28 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_208825" align="aligncenter" width="400" caption="dok. besekan.com"][/caption] Sembari melahap nasi pecel yang masih hangat mengepul di wadah pincuk, aroma sambel menyeruak hidung Gendhuk. Matanya mengerjap, bibirnya mendesis kepedasan. Kendi di atas lincak diraihnya. Air segar mengguyur kerongkongannya. Nikmat mana yang bisa didustakannya? Bergegas dia mencuci tangan dan membereskan buku-buku yang dimasukkan ke dalam tas kain lusuhnya. Sambil berpamitan pada simbahnya dia berujar, "Mbah, nanti malam ke rumah bu Lus ya mbah. Nonton film di tivi. Tivinya bu Lus kan berwarna mbah." Simbah hanya mengangguk. "Sudah sana berangkat, nanti terlambat." Gendhuk mencium tangan simbahnya dan berangkat. * "Nanti malam nonton di mana, Ndhuk?" Nastiti memandang Gendhuk sambil tangannya terus membentuk gundukan tanah membentuk kotak-kotak seperti ruangan rumah. Ada tempat tidur dari tanah, meja, kursi, kamar mandi. Jemari kecil genduk mematah-matahkan lidi dengan panjang tidak sama. "Ini ibu, bapak, ini kresna, ini arimbi." Gendhuk meletakkan patahan lidi itu di atas susunan tanah menyerupai kursi. "Ndhuk, ditanya kok malah ngelantur!" Nastiti mencubit gadis kecil berkuncir itu. "Nanti ngajak mbahku ke rumah bu Lus saja Ti. Kamu nonton di mana?" Ujarnya sambil nyengir kesakitan. "Aku juga ke sana saja yaa... Nanti bareng ya?" "Iya, tapi aku duduk paling depan ya?" * Jam empat sore, Gendhuk sudah sibuk menggulung sarung milik mbah lanang. Gadis itu mondar-mandir, duduk pun tidak bisa enak. Simbah putrinya melirik, "Kamu kok seperti setrikaan to ndhuk. Muter terus. Mbok ya duduk." "Mbah, ayo berangkat. Nanti ga kebagian tempat. Malam ini pasti banyak yang nonton di rumah bu Lus. Kalau berangkat sekarang kan bisa dapat duduk di depan." "Sudah lah Ndhuk, tidak-tidak. Nanti kamu pasti boleh duduk di depan." Gendhuk tertunduk dan berbaring di lincak di halaman rumah. Kenapa lama sekali ya? Batinnya. Udara sore semilir mengusik rambutnya. Dia tertidur sambil mendekap sarung. * "Haaaaaaaaaaaaaaa, mbahhhhhhhhhhhh... Sudah hampir jam tujuh. Kenapa saya tidak dibangunkan.!" Gendhuk berteriak pada mbahnya yang sedang menyeduh teh ke dalam mug dari besi bercat loreng hijau putih. "Ini juga mau dibangunkan. Mbah bikin teh dulu. Sama ini kopi untuk mbah anang." Simbah putri membetulkan jarik yang melilit badannya. Setagen dikencangkan. Kebaya pudar warna kuning kunyit dipakainya. Simbahnya itu selalu memakai kebaya n jarik kemanapun pergi. "Ayo, kita berangkat. Nanti ibumu kalau pulang kerja biar nyusul ke sana sekalian," simbah melangkah ke luar dan mengunci pintu dengan gembok warna biru. Di tempat bu Lus sudah ramai. Mereka duduk di ruangan yang ada televisi besar berwarna di sana. Gendhuk beringsut sedikit-sedikit supaya bisa duduk agak maju. Pas jam tujuh malam ada Berita Nasional. Semua orang seakan tidak sabar. Hingga akhirnya pukul 19.30 ada lagu Garuda Pancasila di televisi. Memang setiap jam setengah delapan. Anak-anak yang ada ikut bernyanyi. Setelahnya ada pemutaran film G30S/PKI. Semua orang terpaku, terdiam memandang layar kaca. Saat adegan-adengan yang mengerikan muncul, disertai musik-musik mencekam, anak-anak menutup matanya. Telinga juga di tutup walau masih sempat mencuri tau dari sela-sela jemari. Adegan saat Presiden Soekarno sakit, saat Aidit menyusun rencana, saat Ade Irma Suryani ditembak, saat para jenderal dibunuh membekas di ingatan semua yang menonton layar kaca. Betapa kejamnya pembunuh itu. * 25 tahun kemudian. Lagu Garuda Pancasila masih tetap ada di layar kaca, walau mundur setengah jam menjadi jam delapan. Masih menggetarkan hati, Pancasila. Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi satu jua. Dimana saat sekolah diajar bagaimana hidup bertoleransi. Saling menghormati. Tapi sekarang, pembunuhan di mana-mana. Hanya karena masalah sepele. Nyawa manusia tidak lagi dihargai. Tetapi sekarang, film itu sudah tidak ada lagi. Masih adakah juga yang setia menyaksikan televisi yang dulu satu-satunya di negeri ini. * Sambil merapatkan sarung yang menutup tubuhnya, Gendhuk sayup-sayup mendengar alunan Rayuan Pulau Kelapa. Matanya rapat tertutup. Tubuh mungilnya digendong mbah anang pulang ke rumah. Dia terlelap. Tahun depan masih bisa menyaksikan lagi dan dia bertekad bisa sampai selesai menonton film tersebut.

30092012

#lebih dari dua dasawarsa. Masihkan Garuda di dadaku?

-- I miss my simbah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun