[caption id="attachment_73297" align="alignnone" width="576" caption="Bus yang membawa jamaah haji yang turun dari pesawat sesaat setelah mendarat di Bandara Juanda di musim haji tahun lalu (doc.pribadi)"][/caption] Idul Adha. Semua umat Islam di seluruh penjuru dunia pasti menantikannya. Di bulan ini pula banyak orang yang pasti berangan-angan ingin menunaikan ibadah haji, yang merupakan Rukun Islam yang kelima. Dimana suatu rukun setelah Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan jika mampu menunaikan Haji.
Berpapasan dengan para calon jamaah haji saat mereka berombongan berangkat ke airport membuat hati saya bagai disiram air es. Tahun kemarin saat di bandara dan tidak sengaja melihat pesawat dari Saudi Arabia yang membawa rombongan jamaah haji kembali dari Makkah pun hati ini rasanya menangis. Ya Allah..... Ijinkan hambamu ini bertamu.
Saya sering bertanya, dan sampai sekarang belum menemukan jawaban yang memuaskan saya. Mengapa banyak orang selalu ingin menambahkan gelar Haji atau Hajah di depan namanya sekembalinya mereka dari menunaikan ibadah haji? Terkadang ada yang sampai protes jika tidak disapa dengan sebutan Pak Haji atau Ibu Hajjah.
Bukankah ibadah Haji adalah salah satu rukun Islam? Yang mana jika kita mampu maka kita wajib melaksanakannya? Kenapa kita tidak menambahkan Syahadat, Sholat, Zakat dan Puasa di depan nama untuk sapaan? Bapak/Ibu Syahadat?, Bapak atau Ibu Sholat?, Bapak atau Ibu Zakat?, Bapak atau Ibu Puasa?
Adakah di antara para kompasianer yang bisa membantu saya? Yang saya tahu, di Qur’an, Allah berfirman “Katakanlah wahai Muhammad...” bukan “Katakanlah wahai Haji Muhammad...” kepada Rasulullah. Padahal kita tahu, Rasulullah juga menunaikan ibadah haji.
Terlepas dari itu semua, marilah kita berdoa semoga para jamaah haji menjadi haji yang mabrur. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H