Bank Indonesia selaku bank sentral terus berupaya untuk selalu mengambangkan mekanisme pembayaran melalui inovasi-inovasi teknologi pembayaran agar kebutuhan masyarakat dalam hal perpindahan dana menjadi lebih cepat, aman dan efisien. Adanya inovasi-inovasi teknologi pembayaran tersebut menjadikan masyarakat perlahan mulai meninggalkan pembayaran tunai dan beralih ke pembayaran non tunai. Beralihnya masyarakat kepada pembayaran non tunai tentunya sejalan dengan salah satu program pemerintah, yaitu Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang telah dicanangkan oleh Bank Indonesia sejak tahun 2014 dengan tujuan untuk menciptakan sistem pembayaran yang aman, efisien dan lancar. Berbagai macam kendala yang terdapat dalam pembayaran tunai, seperti uang tidak diterima karena lusuh, sobek atau tidak layak edar dapat diminimalisir melalui GNNT. Adanya program GNNT ini juga menjadikan masyarakat tidak perlu membawa uang dalam jumlah besar, sehingga efisiensi dalam bertransaksi akan mengalami peningkatan, yang pada gilirannya dapat mewujudkan ekosistem cashless society.
Salah satu komponen terpenting dalam membangun dan menyokong perekonomian suatu negara dapat dilihat dari sistem pembayaran yang digunakan oleh negara tersebut. Hal ini terjadi karena dengan kemudahan yang diberikan oleh sistem pembayaran yang lebih efisien dan efektif akan meningkatkan konsumsi masyarakat. Kenaikan tingkat konsumsi masyarakat inilah yang pada waktunya dapat meningkatkan pendapatan nasional dan berdampak pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa waktu lalu memberikan dampak yang sangat besar dalam berbagai sektor, termasuk sektor ekonomi. Pembatasan sosial berskala besar membuat perekonomian semakin terpuruk karena aktivitas ekonomi yang sangat terbatas. Perekonomian Indonesia mengalami kontraksi hingga mencapai minus 5,32% pada kuartal II-2020 akibat omzet pendapatan yang menurun, banyak pelaku usaha yang mengalami gulung tikar atau bankrut, karyawan yang kehilangan sumber pendapatan dan permasalahan terkait terhambatnya aktivitas ekonomi lainnya.
QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) merupakan bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 yang diluncurkan pada 17 Agustus 2019 oleh Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). Mulai 1 Januari 2020 implementasi QRIS baru berlaku efektif secara nasional. Implementasi QRIS dilakukan saat merebaknya pandemi covid-19 di Indonesia guna membantu dapat penguatan UMKM di Indonesia dengan meningkatkan efisiensi, akses keuangan, daya saing, dan inklusi keuangan, yang pada gilirannya dapat membantu membangkitkan keterpurukan ekonomi akibat pandemi covid-19 di Indonesia. QRIS dapat membantu mengatasi dampak pandemi covid-19 terhadap perekonomian dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi covid-19, kerja sama antara pemerintah, lembaga otoritas terkait dan pelaku ekonomi diperlukan melalui beberapa langkah, seperti meningkatkan konsumsi, meningkatkan aktivitas dunia usaha, menjaga stabilitas ekonomi dan ekspansi moneter, mengeluarkan paket ekonomi, mendorong percepatan digitalisasi ekonomi dan keuangan, reformasi pasar uang, dan penguatan UMKM.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), pengguna QRIS pada Desember 2022 sudah mencapai 28,76 juta. Jumlah ini meningkat sekitar 4,6% dibandingkan November 2022 (month-on-month/mom). ASPI juga mencatat bahwa terdapat sekitar 23,97 juta merchant per Desember 2022 yang menggunakan QRIS sebagai media bertransaksi, di mana jumlah ini meningkat sekitar 5% secara bulanan (mom). Per Juni 2023, QRIS telah mencapai 26,7 juta merchant, di mana 91,4% dari jumlah merchant tersebut berasal dari UMKM. Sejalan dengan pertumbuhan tersebut, jumlah transaksi QRIS sepanjang 2022 tercatat sebesar 1,03 miliar transaksi. Volume transaksi QRIS secara nasional tersebut tumbuh sebesar 86% (year-on-year/yoy). Nilai total transaksi QRIS mencapai 99,98 triliun pada 2022, di mana nilai tersebut tumbuh 261,81% disbanding tahun sebelumnya.
Melalui penguatan UMKM ini diharapkan dapat memberikan geliat ekonomi bagi Indonesia dengan memberikan kontribusi terhadap PDB, tenaga kerja, investasi, dan eskpor. Perekonomian Indonesia bertopang sangat besar kepada UMKM. Indonesia memiliki 65,4 juta UMKM dengan 99% dari keseluruhan unit usaha berperan besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. UMKM berkontribusi terhadap PDB Indonesia sebesar 60,5%, dan dapat menyerap 96,9% tenaga kerja dari total penyerapan tenaga kerja nasional. Selain itu, UMKM dapat menghimpun hingga 60,4% dari total investasi di Indonesia serta menyumbang 14% dari total ekspor Indonesia.
Penguatan UMKM melalui penggunaan QRIS sebagai instrumen pembayaran dapat meningkatkan efisiensi transaksi pembayaran dengan mempermudah proses pembayaran dan meminimalkan biaya operasional. Hal ini dapat membantu UMKM untuk menghemat pengeluaran dan meningkatkan produktivitasnya. UMKM dapat lebih mudah dalam mengkases keuangan melalui penggunaan QRIS, sehingga mampu meningkatkan daya saing dan mengambangkan bisnis mereka. Ketika UMKM dapat meningkatkan daya saing melalui kemudahan proses pembayaran dan peningkatan efisiensi, maka sangat mungkin untuk UMKM bersaing dengan pelaku usaha lainnya dan meningkatkan pangsa pasar mereka. Selain itu, penggunaan QRIS dapat meningkatkan inklusi keuangan dengan memudahkan UMKM dalam mengakses layanan keuangan sehingga partisipasinya dalam sektor perekonomian akan meningkat, yang pada gilirannya juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Penggunaan QRIS ini tentunya juga dapat meningkatkan konsumsi masyarakat dengan adanya kecepatan, kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan. Selain UMKM, inklusi keuangan dari adanya QRIS sebagai satau satu instrumen pembayaran juga memudahkan masyarakat yang belum terngkau layanan keuangan untuk mengakses keuangan. Kemudahan akses keuangan tersebut dapat membantu dalam meningkkatkan daya beli masyarakat sehingga konsumsi juga akan meningkat.
Akan tetapi, masih terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam penerapan QRIS di Indonesia, seperti masih rendahnya literasi masyrakat mengenai keuangan digital khususnya. Rendahnya literasi keuangan, khususnya pemahaman mengenai QRIS, berpotensi untuk membuka risiko penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh karen itu, pemerintah dan lembaga otoritas terkait harus terus meningkatkan literasi keuangan masyarakat dengan memberikan soklasi pelatihan juga perlu menerapkan kode etik yang jelas untuk menjelaskan bagaimana pihak-pihak harus berinteraksi satu sama lain dalam implementasi QRIS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H