Mohon tunggu...
khusnul ashar
khusnul ashar Mohon Tunggu... Editor - ordinary people

Lahir di Lamongan, sekarang tinggal di Malang

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sektor Informal: Wahana Reformasi Mental di Masa Pandemi

5 Januari 2021   11:54 Diperbarui: 5 Januari 2021   12:18 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di mana saja entah di negara maju apalagi negara yang belum maju, mencari pekerjaan adalah sesuatu yang sulit. Persaingan memperebutkan lowongan kerja penuh dengan kesulitan. 

Dari mulai menyiapkan berkas biodata yang menarik; mengirim ke puluhan instansi/perusahaan sampai mengikuti  tahap-tahap seleksi adalah upaya yang menguras energi dan pikiran. 

Itu pun belum tentu berhasil lolos sampai ke tahap akhir. Setelah berhasil memperoleh pekerjaan, masalah lanjutannya menunggu. Gaji yang kecil; fasilitas kerja yang minim bahkan meja pun belum tentu tersedia sedangkan sebagai pemula biasanya dibebani bertumpuk tugas yang harus diselesaikan dengan tenggat waktu yang ketat. Tidak boleh ada kesalahan. Bisa-bisa diomelin atasan yang cerewet. 

Ini kasus bagi mereka yang beruntung memperoleh pekerjaan. Bagi yang gagal melalui tahapan seleksi atau bagi yang belum menerima panggilan wawancara, jalan hidup ke depan masih kabur dan gelap. Bisa-bisa tanpa terasa waktu berlalu bulan demi bulan sampai hitungan tahun belum ada satu pun surat lamaran yang memperoleh tanggapan.

Apalagi dimasa pandemi seperti sekarang ini, jangankan ada lowongan kerja yang terbuka lebar, mempertahankan pekerjaan yang ada saja belum tentu bisa. Pengurangan jam kerja, bahkan pemutusan kerja bukan hal aneh saat ini. 

Data Kadin Indonesia memperkirakan sekitar 29 juta warga Indonesia mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada masa Covid-19. Jumlah korban PHK ini lebih banyak dari jumlah total penduduk  Australia ( 25,4 juta ).

Apa solusi yang dipilih korban PHK ? Mereka melakukan kerja apa saja demi memperoleh penghasilan di sektor-sektor ekonomi informal ( berjualan makanan, sandang, asesori, penyedia jasa perantara atau kerja apapun yang bisa memberi penghasilan ). Sebagian mereka bergabung menjadi pasukan Gojek atau Grab. Di kegiatan-kegiatan informal inilah mereka menggantungkan nasibnya.

Sektor informal dalam konsep ekonomi tergolong sebagai sektor bawah tanah ( underground economy ), yaitu kegiatan ekonomi yang tidak tercatat dan hasil produksinya tidak diperhitungkan dalam statistik negara. Sektor ini tumbuh bagai jamur di musim penghujan; merebak ke seluruh penjuru wilayah entah di pedesaan apalagi di perkotaan. Badan Pusat Statistik memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor ini  pada tahun 2020 mencapai 70,49 juta orang (jumlah pekerja pekerja di sektor formal lebih kecil yaitu  56,02 juta).

Walaupun merebaknya  sektor informal menyiratkan kegagalan pasar kerja Indonesia yang tidak mampu menyediakan lapangan kerja layak di sektor formal, sektor informal mempunyai peranan penting sebagai wahana transformasi mental sumberdaya manusia Indonesia.

Pada umumnya lulusan pendidikan di Indonesia - dan orang tuanya -  mendambakan pekerjaan yang aman berpenghasilan pasti ( walaupun nilai rupiahnya kecil )  ketimbang menjadi wirausahawan yang harus kerja keras dengan penghasilan yang jumlahnya naik-turun.

Sektor informal memungkinkan anak-anak bisa dilibatkan membantu apa saja yang mampu mereka lakukan di waktu luang. Ketimbang anak-anak hanya bersantai main hp atau nongkrong di pengkolan, dengan membantu menjalankan roda usaha keluarga maka terjadi proses pembentukan karakter positif sejak muda ( seperti kebiasaan kerja nyata, timbulnya rasa tanggung jawab, kebiasaan melayani & kerjasama dan yang juga penting adalah tumbuhnya etos kerja dan kebiasaan menghargai waktu ).

Di era digitalisasi dewasa ini memang ada kecenderungan terjadi pengurangan tenaga kerja teknis-manual di sektor bisnis,  industri dan perkantoran akibat penggunaan IT, aplikasi dan robot, namun ada pula kecenderungan peningkatan peluang dan kesempatan kerja berbasis soft-skill. 

Survei yang dilakukan oleh National Association of Colleges and Employers  ( NACE ) -- USA  tahun 2017 dengan responden para pimpinan perusahaan besar memperoleh temuan bahwa lebih dari 70 % responden lebih membutuhkan tenaga kerja yang memiliki soft-skill tinggi ketimbang kemampuan teknis yang hebat. 

Para pimpinan Lembaga bisnis lebih menyukai pekerja yang mampu bekerjasama, problem-solver, mampu berkomunikasi, etis dan memiliki etos kerja yang tinggi. Kemampuan teknis/hard-skill seperti Bahasa asing dan Komputer masih tetap dibutuhkan namun intensitas kebutuhannya tidak terlalu tinggi.

Penelitian di Harvard University Amerika Serikat memperoleh temuan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja. te:tapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Dalam penelitian tersebut diungkapkan pula bahwa:

"Kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill."

Soft-skill merupakan modal yang semakin penting dalam merebut peluang kerja dan membangun karir.  Namun soft-skill tidak bisa diperoleh dari ceramah para dosen/trainer di ruang-ruang kuliah atau kelas-kelas pelatihan. 

Soft skill adalah kemampuan yang hanya bisa diperoleh melalui pembiasaan dan keterlibatan kerja-kerja nyata yang dipupuk dalam waktu lama. Mengikutsertakan anak untuk terlibat membantu urusan/usaha keluarga merupakan upaya investasi strategis yang bisa memupuk kebiasaan dan karakter positif.

Soft skill anak akan terbentuk bila orang tua membiasakan anak-anak untuk membantu pekerjaan rumah tangga, berbagi dan tenggang rasa dengan saudara, menghargai kebaikan yang di terima dari siapa saja dan selalu mensyukuri apapun yang ada.

Kalau pada masa resesi ekonomi di tahun-tahun lalu, sektor informal terbukti berperan sebagai katup pengaman ekonomi nasional, di masa pandemi Covid-19, sector ini  bisa menjadi sarana dan wahana transformasi mental generasi muda menjadi lebih ulet dan tahan banting. Orang tua dan keluarga mempunyai peran yang sangat menentukan. Dukungan kebijakan pemerintah yang lebih besar dalam mengembangkan sektor informal sangat diperlukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun