Mohon tunggu...
Khusnul Kholifah
Khusnul Kholifah Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dan Pendidik

Pencinta literasi sains, parenting, dan kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Pentingnya Mengasah Kemampuan Sosio-Emosional pada Anak Sejak Dini

8 Juli 2024   23:05 Diperbarui: 13 Juli 2024   13:35 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- anak sedang bermain. (Shutterstock/Spotters_studio via Kompas.com)

Pada suatu sore di sebuah taman, saya dibuat takjub dengan pemandangan dua anak perempuan yang berusia sekitar 4-6 tahun. Awalnya, seorang anak perempuan sedang bermain monkey bar dan secara tidak sengaja sandalnya terjatuh. Tiba-tiba, ada seorang anak perempuan lain yang datang menghampirinya dan mengambilkan sandal yang jatuh.

Sembari menyerahkan sandal, anak perempuan tersebut memperkenalkan diri. "Hai, nama aku Dea (nama samaran), umur aku 4 tahun. Aku yang tinggal di ujung sana (sambil menunjuk rumahnya). Nama kamu siapa?"

Kemudian, diresponlah dengan baik olehnya sehingga terdengar percakapan yang berlangsung menarik. Pada akhirnya, mereka bermain bersama dan berbincang akrab seolah ini bukan pertemuan pertama mereka.

Pemandangan tersebut menyiratkan makna ternyata sesederhana itu menjalin sebuah pertemanan. Di balik usia yang masih belia, mereka telah mampu menghidupkan suasana bermain yang menyenangkan. Bukan saya saja, tentu senyum berbinar juga ada di raut kedua orangtua mereka yang turut menyaksikan.

Memperkenalkan diri tanpa diminta (dalam situasi dan kondisi yang mendukung) bukanlah perkara mudah. Mengingat setiap anak memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda.

Masih ada orangtua yang mengalami kendala dalam meningkatkan kemampuan anak-anaknya terkait dalam interaksi sosial seperti anak tidak cepat merespon ketika disapa, pemurung, cenderung menarik diri dari lingkungan sekitar, kurangnya empati, sulit mengontrol emosi, dan sebagainya.

Akibatnya, berpengaruh pada kemampuan akademik maupun non akademik karena anak menemukan kesulitan (1) dalam berinteraksi, (2) menerima instruksi, (3) menyelesaikan konflik, (4) mengatur emosi, dan (5) menanggapi emosi orang lain.

Kemampuan Sosio-Emosional pada Anak

Sosial dan emosional merupakan dua kata terpisah tetapi saling berkaitan sehingga lebih lanjut disebut dengan sosio-emosional.

Definisi perkembangan sosial merupakan bentuk mempelajari nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang memungkinkan anak-anak untuk berhubungan dengan orang lain secara efektif dan berkontribusi secara positif kepada keluarga, sekolah, dan masyarakat. Yang tak terpisahkan dari hal ini adalah pengetahuan dan pemahaman tentang emosi.

Ilustrasi anak bermain bersama teman | Sumber: (thinkstock) 
Ilustrasi anak bermain bersama teman | Sumber: (thinkstock) 

Pemahaman emosional menyiratkan kemampuan untuk mengenali emosi dan cara mengaturnya untuk mempertahankan hubungan yang efektif dengan orang lain. Yang diinginkan adalah anak mampu mengisyaratkan dengan benar emosional orang lain dan meresponnya dengan tepat.

Karena, yang diharapkan, ketika anak sudah memasuki dunia taman kanak-kanak, ia akan memiliki kemampuan yang baik, respon yang baik. Sebagai contoh, Firza memiliki teman yang diganggu oleh teman lainnya. Jika kemampuan sosio-emosionalnya baik, maka Firza akan berusaha melerai atau melindungi temannya yang sedang dijahili tanpa mengucapkan kata-kata kasar maupun membalas secara fisik. Demikianlah sebagai salah satu wujud kematangan  sosio-emosional pada anak.

Inilah pentingnya peran orangtua dan guru untuk peka dengan situasi demikian. Mengingat, perkembangan sosio-emosional anak merujuk pada kemampuan untuk sepenuhnya mengelola dan mengekspresikan emosi baik positif maupun negatif.

Oleh sebab itu, beberapa hal yang perlu orangtua tinjau ulang kembali adalah sebagai berikut.

Pertama, kesadaran orangtua tentang kemampuan sosial dan emosional pada anak. Apakah selama ini orangtua hanya berfokus pada aspek kognitif atau akademik (intelektual) saja seperti membaca, menulis, dan berhitung. Sehingga, hal demikian rentan akan pengabaian pada aspek lainnya seperti kemampuan anak dalam bersosialisasi, mengekspresikan emosi, dan sebagainya.

Padahal, kemampuan kognitif sama pentingnya dengan kemampuan sosial dan emosional. Karena, sosio-emosional menyangkut bagaimana anak untuk memiliki sikap empati pada temannya, berbicara dengan jelas pada lawan bicaranya, mampu memperkenalkan diri seperti menyebutkan nama dan usianya, serta cara mengatasi emosi negatif seperti marah, kecewa, atau cemas.

Kedua, pola pengasuhan yang diterapkan oleh orangtua selama ini. Pola asuh erat kaitannya dengan kebiasaan keseharian orangtua yang cenderung ditiru oleh anak. Seperti apa cara bergaul orangtua dengan para tetangga atau lingkungan sekitar tempat tinggal.

Mengingat anak adalah sosok peniru ulung, terlebih di usianya di fase golden age. Apapun yang ia alami, lihat, dan amati akan terekam oleh memori otaknya. Maka, cepat atau lambat anak akan melakukan hal yang sama dengan ayah ibunya.

Anak yang kesulitan berinteraksi dengan teman sebaya dan jarang berkomunikasi dengan lingkungan salah satunya diakari oleh pola pengasuhan yang keliru seperti orangtua posesif yang terlalu membatasi pertemanan sang anak. Akibatnya, kemampuan sosial dan emosional anak menjadi terhambat.

Anak sudah sepatutnya untuk dilatih bersosialisasi dan mengontrol emosi sejak dini. Sebab salah satunya, pada saat menuju kesiapan sekolah, anak belajar untuk memahami instruksi dan interaksi.

Di rumah, mungkin ia anak kecil satu-satunya dengan mainan berlimpah. Namun, ketika ia berada di luar, maka akan melihat situasi sosial sehingga dapat belajar untuk bersosialisasi.

Ketiga, kekhawatiran orangtua terhadap anak yang rawan perundungan (pembullyan). Hampir setiap orangtua yang dihadapkan pada kemampuan sosio-emosional anak yang belum optimal merasa khawatir akan terjadinya perundungan.

Mengingat, hal demikian juga disebabkan oleh lingkungan yang dipicu dari hubungan kurang baik serta pengalaman traumatis pada anak seperti perundungan. Maka, pentingnya orangtua mengambil langkah tepat atau cara mencegah timbulnya permasalahan, menekan risiko, serta mencari solusi yang terbaik.

Perlunya orangtua menciptakan lingkungan agar anak merasa aman dan didukung. Mengingat emosi anak yang labil mengakibatkan mood swing atau mudah marah dan sedih. Oleh sebab itu, pentingnya orangtua mengajarkan anak tentang cara berkomunikasi dan kemampuan berbahasa yang baik dan benar (lancar), mengelola emosi, dan interaksi sosial yang sehat.

Apabila anak sudah bersekolah TK (sederajat), maka komunikasi intens antara orangtua, guru, dan antar wali murid diharapkan terjalin harmonis. Sehingga, jika timbul suatu masalah antar siswa bisa dicari solusi dengan kepala dingin.

Keempat, durasi waktu layar (screen time) atau waktu yang dihabiskan anak untuk menatap layar. Adapun screen time bukan hanya waktu yang dihabiskan anak bermain ponsel pintar, melainkan juga televisi.

Mengingat anak yang sedang kita hadapi adalah generasi alpha atau generasi yang langsung melek teknologi serba digital. Kondisi demikian memengaruhi sifat dan karakteristik gen alpha sehingga ada yang menyebutkan cenderung bersifat individualistik dan antisosial.

Screen time memainkan peran penting dalam tumbuh kembang anak. Keberadaannya ibarat pisau bermata dua, di satu sisi berkontribusi untuk menunjang perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, di balik segudang manfaatnya, apabila tidak digunakan secara bijak, maka akan menimbulkan persoalan baru yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak.

Gen alpha terlanjur merasa nyaman dengan dunia dalam gawai mereka. Ketertarikannya minim untuk bersosialisasi meskipun sekadar bermain di luar rumah. Kedekatan gen alpha dengan gawai telah menjadi tembok penghalang bagi mereka ketika mengembangkan interaksi sosial.

Anak yang menonton televisi berjam-jam dan pengabai orangtua akan berdampak serius terhadap kemampuan sosial dan emosionalnya. Akibat dari peniadaan batasan waktu layar pada anak serta orangtua yang abai (ada tapi tiada), maka anak cenderung sewenang-wenang dan keasyikan hingga larut dalam dunianya sendiri. Padahal, waktu 24 jam dalam sehari bisa dibagi-bagi ke dalam berbagai kegiatan positif yang bisa menunjang keterampilannya.

Jika anak sudah merasa nyaman di rumah saja tanpa butuh teman bermain, maka patut diwaspadai. Hal demikian agar anak terhindar dari salah satu dampak buruknya yakni perilaku antisosial.

Nah, inilah pentingnya orangtua introspeksi terhadap dirinya sendiri. Mengingat proses pemulihan yang akan dilalui anak tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi di usianya yang masih sangat belia yang memengaruhi kepribadiannya dewasa kelak.

Mengasah Kemampuan Sosio-Emosional pada Anak

Berikut beberapa cara yang dapat ditempuh dalah mengasah kemampuan sosio-emosional pada anak, antara lain : 

1. Mengajak anak bermain ke luar rumah misalnya aktivitas bersepeda, menyiram tanaman, atau sekadar lari-larian. Hal demikian bertujuan agar anak menyediakan waktu untuk bermain dan interaksi sosial. Karena keterampilan dalam bersosialisasi bisa dimulai dan dibentuk dari orang-orang sekitar baik teman sebaya maupun orang dewasa.

Adapun kegiatan bermain anak dengan sebayanya bisa diisi dengan aktivitas bermain petak umpet, bermain bola, serta segala permainan yang mengajarkan kerja sama dan saling empati.

2. Membatasi screen time baik pada gawai maupun televisi. Disadari atau tidak, pembebasan penggunaan gawai pada anak yang tidak terkontrol dapat mengganggu perkembangan sosio-emosialnya. Frekuensi penggunaan yang berlebih berimbas pada anak yang menghabiskan waktu seharian untuk waktu layar.

Rutinitas harian yang seimbang dan aktivitas alternatif dalam meningkatkan kemampuan sosio-emosional pada anak sangat diperlukan di antara gempuran teknologi masa kini.

3. Mengundang teman sebayanya untuk main ke rumah. Melalui bermain, anak-anak belajar tentang penegasan diri, negosiasi, dan kompromi. Di sini pula, anak yang cenderung pemalu bisa menjadi sedikit cerewet meniru sikap temannya karena mereka saling terhubung dalam situasi bermain. Alhasil, anak yang pemalu bisa lebih percaya diri dan tidak segan untuk menjalin pertemanan.

4. Mengasah minat dan bakat anak melalui kegiatan aktif seperti mengikuti kelas taekwondo, komunitas push/balance bike, les renang, mengunjungi playdate/playground, dan sebagainya.

Selain mengasah kemampuan motoriknya, di situ anak juga akan bertemu dengan banyak orang bahkan sekaligus bisa belajar pengalaman tentang hal baru. Sehingga, anak dapat terlatih untuk mengekspresikan diri dalam situasi sosial.

5. Mengajarkan anak untuk berbagi dan saling menolong. Salah satu manfaatnya adalah untuk mengendalikan sikap egoisnya. Tentunya ini tidak dengan cara dipaksa tetapi melalui pembiasaan orangtua. Mengingat anak usia dini masih cenderung egois, maka bisa diajarkan perlahan dan dikomunikasikan dengan baik.

*****

Tumbuh kembang optimal pada anak tidak hanya mencakup kemampuan akademik saja, tetapi juga fisik dan psikisnya seperti motivasi belajar, perkembangan sosial, motorik, sensorik, dan emosional.

Tahun-tahun prasekolah atau masa sekolah pada anak usia dini merupakan "periode sensitif" untuk mengatur perkembangan emosi. Pentingnya melakukan pendekatan kolaboratif melalui sinergi antara orangtua dan keluarga atau pengasuh, guru, teman sebaya, serta lingkungan masyarakat. Sehingga, anak sehat secara emosional, terlibat dalam perilaku bermain yang positif, mengembangkan persahabatan timbal balik, diterima dengan baik oleh teman-teman sebayanya, serta terbebas dari perundungan.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun