Toilet training atau pelatihan toilet merupakan salah satu tahapan yang dilalui anak balita untuk menggunakan toilet sebagai tempat buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Tahapan ini pun menjadi salah satu tahap penting yang berkaitan dengan perkembangan anak balita menuju kemandirian.
Pada umumnya orangtua memulai dan mengenalkan pelatihan toilet ini pada anak di usia 18 bulan (1,5 tahun) hingga 2,5 tahun. Dalam prosesnya pun tak jarang diwarnai "drama" yang berliku-liku. Namun, ada juga anak balita yang dalam proses pelatihan toilet cenderung lebih cepat kesiapannya.
Tantangan
Berdasarkan pada pengalaman penulis selama memberikan pelatihan toilet kepada si kecil dari tahapan awal hingga tahapan kelulusannya, banyak sekali ujian yang "bertebaran". Sempat terbersit, "kapan ya si kecil lulus toilet training, kok ngompol mulu, kok belum bisa pup di kamar mandi."
Namun, kejadian yang penulis alami tidak ditahan sendiri. Seringkali penulis bertanya dan meminta saran kepada nenek si kecil, tetangga, bahkan para ibu dari teman sekolah si kecil. Hal demikian semata-mata agar penulis dapat menemukan trik jitu agar si kecil tidak berlarut-larut "mengandalkan" popoknya seiring bertambah usianya.
Tantangan yang penulis alami di awal-awal adalah ketertarikannya dalam minum air putih yang luar biasa. Di usianya kisaran 1,5 tahun hingga 2,5 tahun, penulis sudah mulai mengenalkan toilet kepada si kecil.
Beberapa orang ada yang menyarankan agar mengajak si kecil 2 jam sekali ke toilet untuk mengajak BAK. Namun hal demikian tidak berlaku bagi si kecil. Intensitas minum air putihnya yang tinggi sempat membuat saya kewalahan bahkan sering bocor walau sudah memakai popok "terbaik".
Penulis mendaftarkan si kecil sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di usianya yang menginjak 2,5 tahun. Dalam satu semester, si kecil sudah dua kali "bocor" di kelas. Berbagai upaya sudah penulis lakukan untuk meminimalisir kejadian tersebut misalnya membiasakan si kecil BAK terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah.
Namun, penulis tidak menyerah begitu saja. Senantiasa ada harapan untuk terus berbaik sangka bahwa si kecil mampu belajar toilet training sedikit demi sedikit seiiring berjalannya waktu dan bertambah usia serta pemahamannya.
Para ibu pasti juga pernah mengalami hal serupa, mengepel lantai karena anak pipis di teras, di ruang tamu, dan segala penjuru rumah. Hingga bingung bagaimana caranya membersihkan saat si kecil ngompol di kasur. Hal demikian disiasati dengan lembaran plastik yang dilapiskan sebagai alas sprei, dan seterusnya. Mari para ibu menghela nafas sejenak. Pasti setiap anak memiliki kisah "seru" di masa toilet training-nya.
Masih teringat jelas jika si kecil usia 3 tahun lulus BAK, namun tidak dengan BAB. Maka si kecil masih tetap memakai popok kala itu. Mungkin juga, si kecil pernah trauma waktu itu karena penulis pernah seolah "buru-buru" menginginkan si kecil segera lulus keduanya.
Oleh sebab itu, penulis tetap sabar dan konsisten saat itu, tetap rajin mengajak si kecil ke toilet. Alhasil, beberapa bulan kemudian si kecil membuktikan kemampuannnya bahwa dia bisa BAB di toilet.
Kini si kecil sudah berusia 4 tahun dan berhasil lulus toilet training sebelum usia tersebut. Bagi sebagian orang bisa jadi beranggapan usia tersebut tergolong lambat. Namun, perlu diketahui bahwa masih banyak ditemukan teman-teman si kecil yang usianya satu dua tahun di atasnya masih memakai popok.
Kita tidak tahu ikhtiar masing-masing orangtua untuk buah hatinya sejauh mana, ya kan?
Dengan kondisi masing-masing yang berbeda, penting kiranya tidak bertindak "julid". Tetap harus saling menghargai usaha masing-masing orangtua, serta alangkah baiknya berbagi nasihat baik.
Tips dan trik
Agar proses toilet training si kecil berjalan lancar, maka ada baiknya orangtua melakukan tips dan trik berdasarkan pada pengalaman penulis sebagai berikut.
Pertama, penuhi tangki kesabaran orangtua terutama ibu. Hal demikian agar orangtua mampu mengendalikan dan meregulasi emosinya di kala terjadi kejadian yang tidak diinginkan selama fase toilet training si kecil.
Kedua, nikmati prosesnya karena kelak kalau si kecil sudah lulus toilet training ada kalanya ibu rindu momen tersebut. Agar tidak menyesal dan tidak merasa bersalah, maka ajarkanlah pelatihan toilet ini dengan suka cita dan tidak meninggalkan trauma pada si kecil.
Sebagai contoh, jika si kecil didapati telah ngompol, maka sebaiknya orangtua mengingatkan sewajarnya. Jangan sampai berimbas pada amarah yang berkepanjangan yang berdampak pada kesiapan psikologis anak. Akibatnya, anak tidak lulus-lulus karena trauma sebab dimarahi.
Ketiga, mengenalkan konsekuensi kepada anak ketika BAB atau BAK jika tidak di toilet. Saat anak mulai mengerti bahwa setiap ingin BAB atau BAK harus di toilet, namun anak masih saja kecolongan, maka kenalkan konsep sebab-akibat kepadanya.
Misalnya, relakan saja anak ngompol di kasur atau di celana atau di lantai (tentunya pada momen tertentu saja/tidak sering) agar anak tahu jika tidak BAK sebelum tidur pasti akan ngompol atau konsekuensi lainnya. Dengan demikian, diharapkan anak mulai berpikir untuk melaksanakan tindakan yang disarankan oleh orangtuanya.
Keempat, menceritakan tentang temannya yang sudah lulus toilet training. Hal demikian bukan sebagai upaya membanding-bandingkan kemampuan satu anak dengan yang lain. Namun lebih kepada motivasi kepada anak agar anak tertarik dan melakukan apa yang temannya lakukan.
Terkadang sudah mulai muncul rasa malu dalam diri anak ketika ngompol. Dengan demikian anak berusaha untuk tidak mengulanginya kembali bahkan juga karena tidak nyaman rasanya kalau BAB atau BAK di celana.
Kelima, mengamati saat si kecil memakai popok baik ketika tidur siang maupun tidur malamnya. Jika didapati popok yang selalu kering, itu menjadi salah satu penanda bahwa si kecil sudah siap lulus toilet training.
Popok sudah siap dilepas ketika si kecil tidur karena sudah bisa mengontrol kapan waktunya BAK maupun BAB. Dengan demikian, orangtua sudah bisa mulai "tega" tidak memakaikan popok di kala tidur siang dan malamnya.
Keenam, tidak perlu buru-buru akan tetapi senantiasa konsisten dalam melatih anak melakukan toilet training. Rajin-rajinlah orangtua mengajak si kecil ke toilet.
Sebagai contoh yang berlawanan, saat mengajak si kecil jalan-jalan atau pergi, tiba-tiba si kecil ingin BAB atau BAK. Jangan sampai orangtua bilang, "sudah kan adek pakai popok, sudah pipis saja di situ.". Dengan demikian anak akan menjadi bingung sehingga toilet training jadi terhambat atau tidak berhasil.
Ketujuh, komunikasikan dengan baik kepada anak tentang pentingnya BAB dan BAK di toilet dengan bahasa yang sangat sederhana sesuai usianya agar mudah dipahami. Selain itu yang tidak kalah pentingnya yaitu orangtua memberikan pujian di setiap kali anak tidak ngompol atau mampu BAB dan BAK di toilet.
Pujian tersebut akan membuat anak semakin merasa percaya diri untuk terus konsisten BAB dan BAK di toilet. Sehingga proses pelatihan toilet pada si kecil pun berjalan sesuai rencana.
*****
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), tidak ada usia yang pasti untuk anak memulai toilet training. Mengingat adanya kesiapan baik fisik maupun psikis si kecil, maka orangtua dapat mengupayakan pelatihan toilet sesuai kemampuan dan kondisi masing-masing anak.
Ada anak yang siap lebih awal dan ada pula yang lebih lambat. Setiap anak berkembang dengan kesiapan dan kecepatan yang berbeda-beda.
Namun, salah satu hal yang bisa dijadikan patokan oleh orangtua, bahwa ketika sudah mulai memasuki sekolah Taman Kanak-kanak (TK) diharapkan anak sudah ada tanda-tanda lulus toilet training bahkan sudah lulus. Mengingat lulus toilet training adalah "skill" atau keterampilan yang sebaiknya dimiliki anak sebelum masuk TK sebagai salah satu tanda kemandiriannya.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H