Dalam proses pengasuhan orang tua terhadap anak, amarah seringkali menjadi bumbu penyerta. Tidak jarang kita dapati orang tua yang kesal karena anak yang "nakal". Perwujudan kekesalan tersebut tertuang dalam bentuk kemarahan orang tua terhadap anak yang berperilaku "menjengkelkan".
Acap kali orang tua tidak dapat mengendalikan emosi terhadap anak dengan cara meluapkan amarahnya melalui cubitan, pukulan, omelan, gertakan, hardikan, bentakan, serta kekerasan fisik, verbal, dan psikis yang lain. Orang tua menegur anak bukan ingin meluruskan kesalahan, tetapi justru meluapkan amarah. Tanpa orang tua sadari bahwa hal demikian adalah tindakan yang sebenarnya tidak tepat.
Ada anak yang merespon amarah orang tua dengan tetap diam hingga berujung tangisan. Bahkan ada pula anak yang justru melawan dan menentang saat dimarahi oleh orangtuanya.
Dikutip dari jurnal hasil penelitian Mahdalena, seorang pendidik di SMAN 14 Pekanbaru, bahwa definisi memarahi merupakan perwujudan dari perasaan orang tua yang merasa dirinya sebagai korban dalam melampiaskan setumpuk kekesalannya sebagai bentuk kekecewaan atas ketidaksesuaian harapannya terhadap anak.
Pernyataan tersebut mengonfirmasi bahwa pada saat memarahi anak, orang tua tidak sedang mendidik melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan orang tua karena tidak bisa mengatasi masalah dengan baik.
Lantas, sebaiknya orang tua harus bagaimana saat anak berbuat kesalahan?
Orang tua harus tetap belajar meredakan emosi saat menghadapi anak. Jika dengan luapan emosi semata, maka sebuah teguran tidak akan efektif alias tidak mempan. Justru anak akan semakin menunjukkan kenakalannya karena merasa orang tua tidak menyayanginya.
Orang tua marah kepada anak merupakan bentuk sebuah teguran agar anak berperilaku yang baik. Oleh sebab itu, sebelum memarahi anak, penting kiranya orang tua untuk mengelola marah dan meregulasi emosinya kembali. Tidak menggunakan kata-kata yang merendahkan anak dan tidak melabeli anak dengan istilah yang tidak sepantasnya.
Anak juga memiliki hati dan perasaan. Meskipun masih belia, namun ingatan akan terus terpatri mana kala ada peristiwa "berkesan" yang menyakitkan bagi anak. Hal tersebut akan memengaruhi tumbuh kembang dan pola pikirnya hingga dewasa kelak.
Anak peniru ulung orangtuanya