Filosofi hidup budaya jawa “mendem jeru njunjung duwur” itu sejatinya tidak mengakomodir prilaku privat yang merugikan banyak orang. Setidaknya, pesan moral ini hanya berlaku antar personal mengenai “prilaku salah dalam ucapan dan perbuatan ketika berinteraksi sosial” hingga menimbulkan perasaan marah karena kesalahannya.
Sedangkan tafsir “prilaku privat yang merugikan banyak orang” itu, bisa dicontohkan dengan perbuatan korupsi seseorang ketika menjabat diseluruh tingkatan, mulai pemerintah desa hingga lembaga kepresidenan. Memang demikian realitasnya, bahwa peluang korupsi tidak hanya dilakukan seorang pejabat hingga Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, Presiden, bahkan Kades beserta perangkatnya juga berkemungkinan melakukan korupsi.
Jika sudah sedemikian rusaknya mentalitas para pemimpin negeri ini, lalu dengan cara apa menghentikannya secara terstruktur, sistemik dan masif agar Indonesia bebas dari Korupsi? Perasaan rakyat indonesia makin tersayat pilu, ketika eksistensi institusi KPK disinyalir tidak lagi independent dan menjadi bagian dari alat negosiasi politik demi kekuasaan. Tidak ada lagi keadilan hukum, selain kepastian hukum yang transaksional tanpa ada lagi etika.
Cerminan praktik “keadilan hukum dan keteladanan sosial” merupakan harapan menuju Indonesia bebas dari korupsi, meski semuanya tergantung turbulensi praktik etika sosial para pelaku yang mengawal independensi institusi penegak hukum. Mengapa? karena setiap peradaban zaman, akan hadir dan tampil para pelaku kebudayaan dan perkembangan budaya yang berlangsung sangat dinamis.
Memaknai Perbuatan Korupsi
Istilah korupsi sendiri berasal dari bahasa Latin “Corruptio” yang berarti merusak, membuat busuk, menyuap. Menurut Profesor Subekti, Korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan keuangan dan perekonomian negara.
Fenomena situasi politik kontemporer Indonesia saat ini memang sedang menghadapi masalah besar bangsa dengan kondisi sangat kronis soal “korupsi dan politik dinasti”. Kedua masalah ini bahkan diyakini publik punya daya rusak luar biasa terhadap sistem dan tatanan demokrasi di Indonesia.
Rusaknya tatanan demokrasi juga disinyalir karena praktik “simbiosis mutualisme politis” diantara elite birokrat, politisi dan para oligark. Dugaan perselingkuhan politik ini bisa terjadi dengan mudah, secara terang-terangan, semata karena keserakahan dengan berbagai peluang dan kesempatan yang tersedia. Prilaku korupsi bahkan dianggap budaya baru dan tidak lagi sebagai kejadian luar biasa. Rakyat tidak lagi peduli dan kritis mensikapinya, meskipun dampaknya sangat merugikan rakyat.
Pameo “Vox Populi Vox Dei” atau “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan" seakan tidak lagi bertuah pesan moralnya, meski tetap dijadikan "simbol suara Tuhan" setiap hajatan Pilleg, Pilkada dan Pilpres. Penerapan sistem politik representatif inilah yang kemudian dijadikan ticket dan pasword para elite birokrat dan politisi merumuskan dan menetapkan berbagai aturan hukum dan kebijakan pemerintah penguasa.
Konsekwensi politik dengan penyerahan kepercayaan kepada para elite birokrat dan politisi itu, sejatinya rakyat telah memposisikan sebagai “subyek hukum komunal” yang tidak ada lagi pilihan menolak, selain tunduk dan patuh serta menerima dan turut serta menjalankan strategi dan program kebijakan pembangunan yang disodorkan pemerintah penguasa.
Oleh karenanya, jika penyerahan kepercayaan politik tidak diimbangi dengan ketersediaan media sistem dan mekanisme kontrol secara transparan dan aksesibilitas bagi publik secara masif, maka dugaan adanya praktik manipulasi kepercayaan bisa saja terjadi. Semuanya dilakukan untuk kepentingan pribadi dan kolega oligarknya, demi kelancaran dan keamanan berbagai bisnis usaha yang dijalankan dengan cara melakukan perbuatan korupsi.
Dugaan kecurigaan ini, secara politik bisa dibuktikan berdasarkan fenomena ketidakpercayaan publik terhadap independensi dan profesionalitas kinerja KPK, lembaga yudikatif, dan aparat kepolisian menjalankan tugas dan tanggung jawabnya yang berada dibawah pengaruh politik para penguasa. Untuk menguji kevalidan praduga ini, bisa dikaitkan dengan tingkat keberhasilan mengungkap dan penanganan kasus korupsi secara paripurna.
Kelompok manipulator demokrasi ini bahkan sudah berhasil mereduksi pemaknaan antara “identitas dan komunitas” yang sejatinya satu kesatuan yang saling menguatkan. Tindakan “segregasi makna” ini diformulisasikan menjadi isue sosial-budaya-politik, dengan tujuan memecah belah keutuhan “kelompok keberagaman sosial” agar tercipta fragmentasi kelompok sosial yang saling bermusuhan.
Langkah penghancuran “kelompok keberagaman sosial” ini merupakan disain politik yang disiapkan para oligark yang berkoalisi dengan para calon koruptor yang disiapkan menjadi pemimpin untuk jabatan elite birokrat, lembaga legislative, lembaga yudikatif, dan Lembaga kepolisian negara. Keberhasilan kelompok oligark mengusung dan dan berhasil mendudukkan para kandidatnya ini tentu tidak gratis. Ada maksud terselubung diantara mereka yang sudah saling mengerti mengenai apa yang harus dilakukan kemudian.
Terciptanya beberapa kelompok social yang saling bermusuhan ini juga dimanfaatkan para penguasa yang diduga melakukan korupsi sebagai kekuatan pendukung dalam mempertahankan jabatan kekuasaan yang sedang diduduki. Posisi jabatan kekuasaan kemudian menjelma menjadi kursi panas yang butuh modal besar untuk biaya politik transaksional. Oleh karenanya, upaya memanipulasi aturan hukum dan kebijakan menjadi hal biasa bagi para elite birokrat dan para politisi untuk bisa mengkorupsi uang negara.
Fenomena potret kebangkrutan moralitas politik oknum dilingkungan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif ini, setidaknya relevan dengan praktik manipulasi adagium hukum “Politiae legius non leges politii adoptandae” atau “politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya”. Para elite birokrat dan politisi tanpa rasa takut dan malu menerapkan secara terbalik untuk memuluskan tujuan pribadi dan kelompoknya melakukan korupsi secara berjamaah.