Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tafsir Magis Trisula Politik: Jokowi-Megawati-Mahkamah Konstitusi

19 April 2024   06:49 Diperbarui: 20 April 2024   02:30 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun, hakim punya kebebasan menyesuaikan setiap masalah dalam perkara di pengadilan. Dalam undang-undang, hakim dituntut untuk tidak subjektif. Hakim dalam mengadili suatu perkara harus mencerminkan rasa keadilan masyarakat bukan untuk rasa keadilan bagi dirinya sendiri. Untuk memperoleh suatu kebenaran terhadap suatu peristiwa diperlukan suatu proses kegiatan yang sistematis dengan menggunakan pemikiran yang layak dan rasional.

Hakim tidak boleh menolak untuk mengadili perkara yang tidak memiliki dasar hukum atau pengaturan hukumnya jelas. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Serta dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa "hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Ketika ada suatu perkara yang kurang jelas, maka hakim mempunyai kewajiban untuk memperjelas dengan menciptakan hukum baru yang seadil-adilnya.

Relevansinya dengan artikel opini Megawati yang ditutup dengan kata "Salam Amicus Curiae" itu, setidaknya sedang berupaya memprovokasi publik untuk secara bersama-sama melakukan kontrol terhadap kinerja hakim MK dengan harapan pesan dalam artikel opininya bisa dijadikan bahan pertimbangan hukum bagi para hakim MK. Bahkan dalam "Amicus Curiae" Megawati tersebut telah menyinggung soal etika Presiden sampai pada puncak evolusi kecurangan Pemilu 2024.

Sedangkan istilah "Amicus Curiae" merupakan konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga, yaitu mereka yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan dimana hanya sebatas memberikan opini, bukan melakukan perlawanan). Muncul pertanyaan kritis bahwa apakah dalam hal ini secara hukum posisi Megawati merupakan pihak ketiga?

Amicus Curiae atau dapat disebut juga dengan "friends of court" adalah masukan dari individu maupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam perkara, tetapi menaruh perhatian terhadap suatu kasus. Amicus curiae juga bisa diartikan sebagai pihak yang merasa berkepentingan terhadap sebuah perkara sehingga memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Akan tetapi, keterlibatan pihak yang merasa berkepentingan ini hanya sebatas memberikan opini dan bukan melakukan perlawanan ataupun memaksa hakim.

Amicus Curiae memang belum banyak dikenal tetapi telah dipraktikkan dalam sistem peradilan di Indonesia. Amicus Curiae merupakan salah satu unsur dalam sistem peradilan di Indonesia yang belum memiliki bentuk standar, karena belum ada regulasi yang jelas dan spesifik terkait hal tersebut. Dalam sistem peradilan di Indonesia, posisi Amicus Curiae juga tidak dapat dianggap sebagai keterangan saksi maupun saksi ahli, karena Amicus Curiae lebih merupakan partisipasi masyarakat yang pendapatnya diterima dan dapat dipertimbangkan oleh para hakim.

Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi memang sedang diuji kapasitas dan kapabilitas intelektual, independensi yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, obyektif menilai fakta dan keterangan para saksi dan saksi ahli, dan sistematis dengan menggunakan pemikiran yang layak dan rasional. Sehingga ketukan palu hakim MK akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan sebagaimana yang diharapkan Megawati.

Representasi masa depan dalam filosofi Trisula ini, bisa diartikan dengan fenomena kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi dengan kapasitas dan kapabilitanya mampu membuat putusan atas sengketa pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024 secara independen, rasional dan prefesional berdasarkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Rakyat Indonesia memang sedang menunggu dengan suasana batin harap-harap cemas. Berharap para hakim MK akan mencatatkan dalam sejarah bangsa dengan mengambil keputusan sengketa pemilu presiden dan wakil presiden sesuai dengan hati nurani dan sikap kenegarawanannya, sehingga tidak membiarkan atau memberi ruang sedikitpun praktik elektoral penuh dugaan penyalahgunaan kekuasaan "abuse of power" dalam praktik demokrasi Indonesia di masa-masa mendatang.

Simpulan dalam pertunjukan politik opera sabun inipun, pada akhirnya bisa diprediksi ending ceritanya dengan dua simpulan, yaitu (1) hasil pemilu Pilpres 2024 dinyatakan sah dengan beberapa catatan dan perbaikan untuk penyelenggaraan pemilu Pilpres di masa-masa mendatang, dan (2) Megawati dan PDIP menerima kekalahan sesuai putusan MK dan ingin berkoalisi dengan jatah menteri secara proporsional sebagai pemenang pemilu.

Kompromi Politik Bersyarat

Meski pada akhirnya hakim MK dalam memutuskan perkara sudah memenuhi kriteria (1) mencerminkan rasa keadilan masyarakat (2) obyektif berdasarkan fakta dan keterangan para saksi dan saksi ahli (3) sistematis dengan menggunakan pemikiran yang layak dan rasional, tetapi kemungkinan publik tetap menstigmatisasi tidak independen dan berpihak pada salah satu kubu yang dimenangkan perkaranya.

Hakim Mahkamah Konstitusi diduga menggunakan pertimbangan hukum-politik sebagai landasan pemikiran berbasis rasionalitas dalam putusannya dengan kalkulasi menjaga dan mengantisipasi konsekwensi dampak in-stabilitas keamanan negara dan gejolak perekonomian nasional, yang diprediksi tidak lebih baik situasinya apabila tidak dengan segera menyudahi penanganan sengketa pemilu Pilpres 2024.

Tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia yang multidimensi dengan geopolitik sangat menentukan secara global adalah menerapkan dan membumikan nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika. Persoalan bangsa yang sangat laten terkait otoriterisme dalam pemerintahan, korupsi, ketidakadilan ekonomi, disintegrasi bangsa, aksi terorisme, dan ketidakadilan hukum, merupakan pekerjaan rumah yang tidak akan pernah usai.

Sejatinya eksistensi Bangsa-Negara Indonesia telah dititipkan dan ditentukan masa depannya kepada anak kandungnya sendiri. Representasi anak kandung itu bisa bernama Ormas, Serikat, Koperasi, Orsospol, Perusahaan, kelompok masyarakat/paguyuban, organisasi profesi, NGO, Partai Politik dan berbagai lembaga negara yang dibentuk atas perintah Undang-Undang. Seluruh pimpinan dan pengurus organisasi itu, sejatinya telah representasi dari mayoritas rakyat indonesia. Setidaknya memang demikian konsekwensi dari sistem demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun