Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pesan Politik Istana Kepada Parpol dan Civil Society

15 Desember 2023   23:38 Diperbarui: 15 Desember 2023   23:38 1096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapapun yang mampu mempengaruhi, mengatur, dan memaksa patuh kepada para pimpinan TNI-Polri di setiap level komando dan teritorial, pimpinan Ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, maka niscaya visioner presiden beserta gerbong patron-klien pendukungnya akan mampu merealisasikan apapun scenario politik yang diinginkan.

Patron-klien dimaksud meliputi para politisi parpol koalisi pemenang pemilu presiden beserta organisasi sayap pendukungnya, yang memang sudah terlanjur menikmati kenyamanan dengan pembagian jatah kekuasaan sesuai porsinya dalam menduduki pos-pos kementerian kabinet hingga posisi direktur maupun direksi BUMN.

Dengan menggunakan teori patron-klien itu, secara politik setidaknya ada korelasinya dengan soal hubungan timbal balik, kesukarelawan, eksploitasi, dominasi, dan asimetri mewarnai pola relasi ini. Pola relasi ini menjadi stimulan terhadap peluang terbentuknya rezim kekuasaan yang cukup lama dan kuat dengan memanfaatkan dukungan sumber daya manusia dan modal finansial yang tersedia.

Sebagai dampak akibatnya, bangunan relasi patron-klien yang kuat ini telah mendorong matinya demokrasi berbasis gagasan, sehingga berkembang demokrasi pencitraan dan transaksional. Relasi patron-klien telah menempatkan masyarakat sebagai komoditas yang diperjual belikan para politisi untuk meraih kekuasaannya. Masyarakat tidak lagi memilih pemimpin negeri atas dasar kapasitas dan integritas, melainkan hanya pertimbangkan pencitraan semata.

Konsekwensi logis-politis yang akan terjadi pada institusi mulai dari tingkatan organisasi sosial-politik, organisasi profesi hingga organisasi pemerintahan suatu negara, dampak dari praktik relasi patron klien bisa melemahkan proses kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan secara prosedural yang sudah ditetapkan berdasarkan ketentuan aturan main dalam institusi tertentu.

Fenomena politik inilah yang kemudian berpotensi mereduksi dan menciderai system dan praktik domokrasi. Ada kencenderungan untuk menabrak aturan dan menafikan etika dan moralitas, karena prilaku dan ada dugaan para elite pemerintah penguasa maupun para politisi yang menduduki kursi legislative dan yudikatif dalam posisi tersandra dan atau saling menyandra dari berbagai kasus hukum. Bahkan garda terakhir pengawal demokrasi "Mahkamah Konstitusi" juga diragukan marwah independensi, kompetensi dan kredibilitasnya.

Sebagaimana fenomena politik Indonesia saat ini yang situasi dan kondisinya sedang tidak baik-baik saja, apabila tidak ada keberanian dan kemampuan untuk menghadang dan melawan secara konstitusional maupun dengan cara parlemen jalanan terhadap praktik kolaborasi politik antara elite penguasa, pimpinan parpol dan mayoritas anggota legislatif DPR RI, maka rakyat akan dipaksa menerima berbagai suguhan kebijakan politik yang tak terduga.

Proses produk politik berupa UUCK relative lancar, kebijakan proyek food estate yang terbengkalai, amanat Undang-Undang terhadap proyek IKN yang dinilai megaspekulasi masa depan Indonesia itu, hingga kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi, semuanya itu bisa ditafsirkan sebagai bukti "suguhan kebijakan politik rezim penguasa" yang legal-konstitusional dengan berbagai kontroversinya.

Dinasty Politik

Fatsun politik soal etika politik itu relevan dengan teori kausalitas. Jika politik tidak beretika maka akan menciderai system demokrasi. Politik harus berlandaskan hukum, dan aturan hukum itulah yang dijadikan sebagai pengganti etika dalam berpolitik, karena etika itu memang tidak tertulis.

Persoalan "moral, etika, kejujuran" menjadi sumber "masalah pertama" bagi para elite penguasa, para politisi, dan para pimpinan Parpol. Sedangkan "masalah kedua" berkenaan dengan soal "keteladanan". Menafikan soal moral, etika, kejujuran yang dipertontonkan selama mengelola parpol, hingga praktik pimpinan parpol memaksakan anaknya menjadi penerus/pewaris pimpinan Parpol, dengan alasan dan argumentasi tidak jujur.

Dengan demikian, fenomena politik riil di atas itu bisa dijadikan argumen dan jastifikasi secara politik, bahwa awal mula rusaknya praktik demokrasi di Indonesia, yang sejatinya dilakukan para politisi calon pemimpin/penguasa negara-bangsa Indonesia itu sendiri.

Kausalitas berdasarkan fenomena politik yang terjadi dalam internal parpol saat/selama ini, sangat berdampak pada praktik demokrasi yang cenderung menghalalkan segala cara. Para politisi diduga sudah tidak peduli lagi soal moralitas, etika, kejujuran, karena tempat mereka menempuh karier politik telah mengajarkan dan mencontohkan "cara dan praktik dinasty politik dalam mengelola Parpol".

Tafsir pesan politik Istana kepada parpol itu, dimanifestasikan dengan prilaku pembangkangan presiden Jokowi sebagai petugas partai kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan mengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres melalui segala daya dan upaya politisnya secara legal-konstitusional.  

Sedangkan pesan politik Istana kepada Civil Society, sejatinya ingin menyampaikan fenomena politik kekinian bahwa "praktik demokrasi di Indonesia bisa diatur sekehendak rezim penguasa" apabila mampu mengkanalisasi mayoritas anggota Legislatif dengan koalisi mayoritas dengan dukungan politik TNI-POLRI dan Ormas keagamaan dengan anggota terbesar, melalui negosiasi politik dan konsolidasi secara presisi beserta konsekwensi logisnya dibawah komando Presiden.

Secara politis, sejatinya siapa yang menyediakan ruang politik hingga terbangunnya dinasty politik Jokowi? Jika ditelisik sejarah terpilihnya Jokowi, Gibran dan Bobby Nasution, maka dengan gamblang bisa terjawab bahwa PDIP, PKB, Golkar, Gerindra, Nasdem, Gerindra, Golkar adalah Parpol yang mengusung hingga terpilihnya mereka menduduki jabatan di wilayah kekuasaannya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun