Memastikan tidak ada konflik internal antar tokoh masyarakat/adat yang berposisi sebagai pimpinan formal maupun non-formal menjadi tantangan tersendiri, sehingga terjaga dan tercipta ke-sehati-an selama menunggu hadirnya regulasi Perda MHA dan UU MHA.
Setidaknya upaya di atas sebagai antisipasi adanya dugaan soal prilaku pimpinan adat terlibat praktik jual beli lahan dengan mafia tanah, atau dengan masyarakat pendatang yang memang butuh untuk bertahan hidup. Tidak bisa dipungkiri, praktik ini juga terjadi di tingkat tapak.
"Pengarusutamaan skema Hutan Adat, harus diproyeksikan sebagai jaminan ketahanan pangan MHA dengan optimalisasi hasil kebun campur dan padi sawah. Sedangkan potensi pengembangan akan difokuskan untuk produk jasa lingkungan di masa mendatang"
Meskipun godaan para tokoh informal desa dan pimpinan Masyarakat Hukum Adat relative berat, ketika menghadapi desakan anggota masyarakat untuk memililih dan mengikuti skema Perhutanan Sosial yang relative mudah pengurusannya.
Fakta lapangan dengan diterimanya SK Izin KemenLHK untuk skema Perhutanan Sosial (HD, Hkm, HTR, Kemitraan) oleh beberapa subyek hukum desa tetangga, secara politis bisa mempengaruhi psykologis sebagian/seluruh komunitas adat berkehendak ingin meniru.Â
"Antisipasi yang harus dilakukan, tidak dengan mudah menerima kehadiran "institusi tertentu dengan topeng agen perubahan" yang berpotensi "merubah prilaku hingga mereduksi militansi" para tokoh masyarakat sebagai pimpinan formal dan maupun non-formal"
Upaya memperkuat kedudukan politik-hukum Masyarakat Hukum Adat (MHA) lewat jalur konstitusional hingga kampanye internasional telah ditempuh. Meskipun, hingga kini Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat (UU-MHA) belum diundangkan.
Argumen dan jastifikasi politik-hukumnya, berbasis ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang".
Selanjutnya, ketentuan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 menyebutkan "Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban", maupun berbasis TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
"Siapa yang bisa menggaransi Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) yang pernah dibahas Pansus sejak tahun 2014 segera disahkan? Meski saat ini RUU MHA masuk daftar Program Legislasi Nasional RUU Prioritas tahun 2020 nomor 31"
Diduga, kemacetan negosiasi politik pihak pengusung dengan pihak politisi, maupun antar politisi di DPRD Kabupaten tidak segera menerbitkan Perda-MHA, karena menyangkut soal kepemilikan lahan para politisi hingga prediksi resiko konflik reklaiming lahan.
Sedangkan belum ditetapkan RUU-MHA hingga kini, diduga karena kepungan anggota legislative yang terpilih sekarang, mayoritas mewakili kelompok oligarki yang juga berjuang menjaga asset bisnis yang berada dalam kawasan hutan adat sebagai mesin produksinya.
Fenomena di atas, disinyalir akibat praktik politik transaksional politisi anggota legislative yang menyandera rasionalitas keberpihakannya, sehingga menjadi beban politis niatan pemerintah penguasa berbuat adil, responsive, transparan menjalankan kebijakan politiknya.
Kemungkinan dugaan lain, kehadiran pranata hukum Perda-MHA maupun UU-MHA bisa memantik tumbuhnya sikap dan semangat chauvinisme berbasis sejarah ke-daerah-an dengan kemunculan kerajaan-kerajaan yang pernah ada di seluruh wilayah Nusantara.
"Untuk diketahui dan dipahami, bahwa proses lahirnya Undang Undang Republik Indonesia (UURI) diawali dengan usulan RUU oleh DPR atau Presiden, selanjutnya ada 5 (lima) tahapan yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan"