Tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat gestur maupun narasi yang terucap dari para pelawak. Padahal, dibalik ucapan lucu terbersit pesan moral cukup dalam makna kata/kalimat yang disampaikan. Bahkan tidak jarang memasukkan unsur kritik lewat sindiran jenaka.
Dialektika sarat pesan moral, sosial, politik dan budaya memakai bahasa pertemanan gaya PUNAKAWAN, telah menempatkan peran SEMAR sebagai sosok orang tua bijak sekaligus penengah perdebatan kritis antara PETRUK, GARENG, BAGONG yang tak berujung arah.
Pewayangan gaya Jawa Tengah menampilkan empat orang panakawan golongan kesatria, yaitu Semar dengan ketiga anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong ini, sejatinya tidak sebatas lawakan biasa, tetapi mengandung muatan politik dan pesan moral tertentu.
"Benarkah seorang pelawak hanya sekedar melucu untuk ditertawakan tanpa ada muatan politik tersembunyi dibalik lawakan yang disampaikan? Benarkah pelawak hanya seorang komedian dengan orientasi material dan popularitas semata?"
Jurgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman, adalah generasi kedua dari Mazhab Frankfurt sekaligus penerus dari Teori Kritis yang ditawarkan para pendahulunya Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse.
Dia berpendirian, kritik hanya dapat maju dengan rasio komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikatif atau tindakan komunikatif. Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi atau kekersan, tetapi melalui argumentasi.
Satu dari dua argumentasi yang dikembangkan Habermas, yaitu diskursus/perbincangan (yang kedua adalah kritik), setidaknya relevan dengan tema bahasan artikel opini ini. Melalui perbincangan, memungkinkan kemacetan komunikasi politik bisa di urai.
Tindakan komunikatif bisa dibangun melalui argumentasi, sebagai proses pembentukan alasan dan pembenaran dengan tujuan meyakinkan atau mempengaruhi pikiran serta tindakan orang lain.
"Wujud media hingga cara membangun dan merealisasikan sebagaimana terjemahan rasio komunikatif itu, tafsir filosofisnya bisa diwujudkan dengan proses dialektika model satir, yang dikemas dengan lawakan (baca: stand up comedy hingga group lawak)"Â
Sebagai pelawak mumpuni, Tukul Riyanto (awalnya Riyanto saja) yang terkenal dengan nama Tukul Arwana, sangat konsisten tampilan lawakannya dengan cara mentertawakan diri sendiri. Bahkan Tukul sangat sadar dengan wajah lucunya.
"Sejatinya, dibalik narasi lawakannya, Tukul ingin mengajarkan soal keteladanan dalam bersikap dan bertindak. Jangan menyuruh dan atau mengadili orang lain, tetapi lihat dulu diri pribadi tentang apa saja yang sudah diperbuat"
Selain itu, bila mengamati tayangan acara lawakan yang dikelola Tukul, selalu menyertakan sosok figuran pendukung dengan tampilan kalangan masyarakat kelas bawah, komplit dengan dandanan maupun prilaku apa adanya, sekaligus dengan segala keceriaannya.
Tafsir politik gaya lawakan Tukul ini, bisa dimaknai sebagai pesan mengenai cara dan prilaku para pemimpin menjalankan tanggung jawab politik yang diemban, yaitu mengayomi, tidak ada jarak, dan selalu membuat suasana ceria bagi rakyat yang dipimpinnya. Â Â
"Terkait prilaku sensitivitas politis, ada analog gaya lawakan untuk konteks praksis komunikatif atau tindakan komunikatif. Relevansi ini, semata mengkritisi adanya dugaan praktik Oligarki, sehingga respon politik hanya terjadi bila ada kepentingan politik kelompoknya semata"
Muhammad Sulaeman Harsono atau akrab disapa Bolot, adalah sosok pelawak dan pemain lenong Betawi yang bisa ditafsirkan pelawak agitator tersembunyi. Setiap lawakannya, Bolot memainkan peran orang budeg yang hanya bisa dengar ketika menyoal wanita dan uang.