Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Sukses yang Menderita" dalam Kesalehan Sosial

5 Juni 2021   05:23 Diperbarui: 5 Juni 2021   05:27 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makna kesalehan sosial bisa ditafsirkan sebagai suatu perbuatan yang memiliki dampak positif berkelanjutan, bisa menginspirasi orang lain, dan keteladanan atas perbuatan yang dilakukan bisa bermanfaat sosial secara terus-menerus.

Kata kunci kesalehan sosial itu dicirikan berupa prilaku bermanfaat positif bagi diri pribadi, keluarga dan masyarakat luas. Cara berfikir dan bertindak yang tidak merugikan siapapun, tetapi memberi keteladanan dengan berbagai cerita membanggakan.

"Kesalehan sosial seseorang, ditandai dengan seberapa besar kepekaan sosial dan aksi berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, orang akan merasa nyaman, damai, dan tentram saat bergaul dan bekerja sama dengannya"

Interaksi sosial yang dilakukan, bisa diterima berbagai kalangan, cara bergaul tanpa memandang status, etnis dan budaya. Mampu menerima pluralisme dengan cara menghargai perspektif orang lain sesuai koridor aturan, etika, budaya dan konstitusi.

Andai sebagai pemimpin, akan menjalankan amanah itu dengan ikhlas dan rela menderita demi kebahagiaan rakyat yang dipimpin. ketika tugas kepemimpinan dimulai, kepentingan pribadi dan keluarga harus segera dilepaskan.

Apa sesungguhnya "makna sukses yang menderita itu?". Apakah karena proses kesuksesan yang diraih ditempuh dengan cara yang salah? Ataukah karena merasa terasing secara social sehingga orang merasa minder berinteraksi melihat kesuksesan dan berjaya sebelumnya?

"Relevansi paradoksal kalimat "sukses yang menderita" dalam "konteks kesalehan sosial" ini, terletak pada saat proses meniti prestasi seseorang hingga puncak kesuksesan kariernya sebagai elite birokrat, partai politik, perusahaan, atau lembaga tertentu" 

Mungkin saja penjabaran ini tidak relevan dan relatif tidak bisa diterima secara nalar. Akan tetapi, bisa jadi deskripsi cerita ini memang terjadi dan dialami seseorang, hingga ada bayangan rasa bersalah dan penyesalan diri yang menghantui seumur hidupnya.

Memori prilaku curang dan culas yang pernah dilakukan, teringat dan terbayang kembali saat menghadapi cobaan berupa sakit, masalah ekonomi, hingga krisis kepercayaan komunitas tempat tinggalnya. Tidak ada lagi penghormatan seperti saat berkuasa dan berjaya.

Keberhasilan menduduki jabatan melalui cara tidak wajar, karena ada hubungan psiko-emosional, menyuap dan menjilat pimpinan, menebar fitnah sesama rekanan atau kompetitor, sehingga menggugurkan peluang rekanan yang lebih mampu dan berhak.

Atau, pernah mendapat sesuatu (barang/uang) yang bukan haknya, memanipulasi data, menyembunyikan informasi, hingga menggelapkan sesuatu demi memperkaya diri, yang semua perbuatan itu dilakukan dengan cara menisbihkan nilai-nilai kesalehan sosial.

Semua dilakukan tanpa peduli dengan dampak yang menimpa orang lain. Padahal, sesuatu yang diambil itu, merupakan harapan sekaligus taruhan hidup keluarga rekanan dan mitra kerjanya, atau ada bagian pihak ketiga yang berhak menerima.

"Sikap dan prilaku yang mencirikan kesalehan sosial bagi para mahasiswa, bisa dimulai dan dilatih lewat berbagai kegiatan kemahasiswaan, hingga proses pembuatan karya tulis ilmiah secara jujur sebagai hasil karyanya sendiri" 

Keberhasilan dengan kecacatan proses pembuatan hingga menyelesaikan karya intelektual berupa Skripsi-Tesis-Disertasi yang bukan hasil karya/pemikiran sendiri maupun plagiat, memang bisa menyenangkan diri pribadi sesaat.

Cara instan dan tidak etis, yang dilakukan secara sadar dan terencana ini, semata hanya ingin segera terbebas dari tekanan tanggung jawab intelektualnya. Tidak ada kebanggan, selain penyesalan yang pada akhirnya tidak mungkin diulang dengan dalih apapun pembenarnya.

"Konsekwensi prilaku yang tidak mencirikan kesalehan sosial atas prestasi yang diraih seseorang, cenderung sikapnya menjadi peragu dan merasa rendah diri. Akan merasa risi dengan pernyataan yang disampaikan saat diminta pandangan dan pendapatnya"

Mereka juga akan merasa tersindir dan malu pada diri sendiri, ketika mendengar paparan seorang motivator, pendakwah, hingga pertanyaan sang anak, kerabat dekat, maupun cucu kebanggaannya.

Sebagai konklusi dari maksud "sukses yang menderita" dalam "konteks kesalehan sosial" ini, setidaknya ada dua jawaban. Pertama, jujurlah pada diri sendiri dan segera memperbaiki prilaku jika sudah terlanjur berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kesalehan sosial.

Kedua, berilah pelajaran dan pengajaran kepada para generasi penerus khususnya anak kandung sendiri, agar tidak melakukan perbuatan yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai kesalehan sosial dengan berani bercerita soal kesalahan dan penyesalan.

Salam meraih kesalehan sosial, .....

Bahan bacaan:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun