Modus operandi
Praktik penguasaan lahan akan berlangsung ketika masyarakat mengetahui informasi tentang lokasi dan batas kawasan yang sedang diurus pengusulan hingga penyiapan areal rencana kegiatan yang akan ditetapkan pihak perusahaan.
Kegiatan sebagaimana dimaksud, bisa dalam bentuk penyiapan pembuatan jalan, kewajiban melakukan tata batas luar areal konsesi, maupun lokasi eksplorasi/eksploitasi perusahaan tambang.
Bentuk tindakan masyarakat, bisa sebatas menandai dengan alat bantu tertentu. Atau dengan cara menebang beberapa batang pohon hutan, selanjutnya ditanami beberapa batang pohon komoditi tertentu (Karet, Sawit. Kopi, kayumanis, atau jenis pohon maupun tanaman non hutan lainnya.
Faktor Pemicu Klaim Lahan
Ada beberapa faktor pemicu tujuan klaim lahan yang secara hukum maupun politis, relatif menguntungkan bagi pihak masyarakat melalui berbagai aktifitasnya. Beberapa pemicu dalam konteks ini adalah sebagai berikut :
1. Penerimaan Mengenai Status Hukum Atas Lahan
Masyarakat cenderung tidak menghiraukan status hukum atas lahan yang digarapnya, dan hanya meyakini lahan yang digarap berada dalam wilayah adat mereka. Status hukum atas lahan sebagaimana dimaksud, adalah status hutan negara dengan fungsinya sebagai hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi.
Keyakinan tersebut dilakukan masyarakat setempat secara bersamaan, yang diperkuat dukungan pimpinan formal (kepala desa dan atau perangkat desa), pimpinan informal (kepala suku atau ketua adat), dukungan atas nama organisasi tertentu, ketika berlangsung proses negosisasi ganti rugi dengan pihak perusahaan.
2. Praktik Pembiaran Pihak Pemerintah
Jika proses negosiasi ganti rugi antara masyarakat dengan pihak perusahaan diposisikan sebagai bentuk sengketa lahan dalam areal konsesi yang telah diterbitkan IUP kepada subyek hukum tertentu, setidaknya pihak pemerintah bertanggung jawab untuk memfasilitasi proses penyelesaiannya.