"Dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati". Setidaknya pribahasa ini relevan dengan skenario kebijakan Perhutanan Sosial yang sedang marak diusulkan masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat secara mandiri, atau dengan promotor atau pendampingnya masing-masing.
Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.
Ada 5 (lima) skema yang ditawarkan, yaitu (1) Hutan Desa (HD), (2) Hutan Kemasyarakatan (HKm), (3) Hutan Tanaman Rakyat (HTR), (4) Hutan Adat (HA), dan (5) Kemitraan Kehutanan (KK).
Terlepas cukup tidaknya luasan kawasan hutan yang dicadangkan KemenLHK periode 2015-2019, dengan mengalokasikan 12,7 juta hektare berdasarkan Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial atau PIAPS, yang bisa diajukan masyarakat untuk perhutanan sosial.
Tujuan perhutanan sosial sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Permenhut.No.P.83/2016 adalah untuk menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan dalam rangka kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan.
Setidaknya ada 3 (tiga) kata kunci yang ingin disasar tujuan perhutanan sosial, yaitu (1) menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan, (2) masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat, (3) kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan.
Masalah tenurial yang umum terjadi ditingkat tapak, menyangkut soal pengakuan penguasaan Kawasan hutan/lahan antara masyarakat dengan pihak perusahaan, maupun pihak KPH. Bagi masyarakat, masalah tenurial dianggap selesai, jika mendapatkan status hak milik. Bukan hak kelola sesuai tawaran pemerintah melalui beberapa skema di atas.
Dalam konteks politik pertanahan, skenario kebijakan perhutanan sosial ini, bisa diartikan sebagai tujuan antara. Minimal bisa meredakan konflik struktural yang bersifat laten, dengan label pihak pemerintah/Kemenlhk cenderung berpihak demi kepentingan para pengusaha, ketimbang masyarakat setempat/adat.
Setidaknya, scenario perhutanan sosial merupakan "strategi kebijakan politik jalan tengah" untuk kepentingan politik masyarakat setempat/adat, dan kepentingan ekonomi bagi para investor, serta kepentingan pemerintah dalam peningkatan pendapatan negara.
Implikasinya dengan eksistensi masyarakat hukum adat, maka, bagaimana dengan Kabupaten yang belum membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang masyarakat hukum adat? Secara politis, keberadaan Perda bisa menjadi pintu masuk penyelesaian kasus tenurial dan keadilan bagi masyarakat hukum adat secara legal dan permanen.
Apabila belum ada Perda masyarakat hukum adat ini, maka tujuan perhutanan sosial untuk menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat hukum adat hanyalah sebatas ilusi politik semata.