Potret kesejahteraan ekonomi dan dinamika sosial masyarakat desa menjadi cermin politis eksistensi sebuah negara-bangsa. Desa sebagai pensuplai kebutuhan dasar masyarakat kota, sehingga mewajibkan pemerintah melakukan investasi ekonomi secara proporsional tanpa garanti politis dalam bentuk apapun.
Secara politik, realisasi Nawa Cita pemerintahan Jokowi jilid pertama telah memberi porsi lebih untuk pembangunan kawasan pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan pedesaan. Paparan potret ini hasil jajak pendapat lembaga survei Indo Barometer yang diungkapkan Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari dengan tingkat kepuasaan publik mencapai 60,2%.
Gerakan Ekonomi Desa Melalui BUMDes
Upaya Kemendes PDTT mendorong pendirian Bumdes di setiap desa patut diapresiasi. BUMDes merupakan lembaga ekonomi yang dimiliki dan menjadi hak sepenuhnya bagi seluruh masyarakat desa. Pada awal tahun 2020 sudah berdiri lebih dari 46 ribu Bumdes atau lebih 61% dari total jumlah desa sudah memiliki Bumdes. Namun pada level unit usaha, masih banyak kendala yang dihadapi.
BUMDes dikelola dengan semangat kekeluargaan dan gotong-royong, bergerak dibidang ekonomi, pedagangan, pelayanan jasa maupun pelayanan umum lainnya, dengan mendayagunakan segala potensi ekonomi, sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kesejahteraan masyarakat desa.
Meski orientasi bisnisnya bersifat paradok, sebagaimana arahan/anjuran pemerintah agar BUMDes tidak mencari keuntungan uang semata, tetapi juga bisa mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Apabila skenario ini tidak dijalankan dan dikontrol dengan baik, akan terbuka peluang untuk memanipulasi hingga mengkorupsi modal usaha yang ditanamkan dalam BUMDes.
Bahkan, sesuai instruksi Presiden Jokowi dalam rapat terbatas mengenai pengelolaan dana desa, perlu ada program Revitalisasi BUMDes. Masalah ini perlu mendapat perhatian serius, dan bukan hanya menyangkut Kementerian Desa PDTT.
Kementerian BUMN, Bank Indonesia, OJK, Kemenkum HAM, perlu dilibatkan untuk mendorong kebijakan yang memihak dan memberikan ruang bagi BUMDes. Penguatan kelembagaan dan kebijakan untuk Revitalisasi Bumdes harus dilakukan di level Nasional, Provinsi, Kabupaten dan Lokal Desa itu sendiri.
Implikasi kebijakan pemerintah pusat yang tafsir politiknya bisa dimaknai “setengah memaksa” bagi desa membentuk BUMDes itu, sejatinya telah dijalankan dengan berbagai resiko dampak bagi individu/pribadi maupun kelompok (baca: kepala desa, perangkat desa, masyarakat desa) dalam tempo yang belum lama waktu pembentukannya.
Pertanyaannya kemudian, apakah prestasi Nawa Cita tersebut harus dianulir secara politik dengan pemberlakuan UU.No.2/2020 (Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang) yang berdampak sistemik terhadap mandat UU.No.6/2014 tentang Desa ?
fenomena politik itu mungkin saja telah dan atau akan terjadi sebentar lagi, jika penerapan praktik UU.No.2/2020 menggunakan tafsir subyektif absolut sesuai kehendak dan kemauan pihak pemerintah.